Jika Pasar (dibiarkan) Mengatur Dirinya Sendiri
Oleh: Luthfi Makhasin (Dosen UNSOED, anggota Forum Lafadl)
Dalam novel Bekisar Merah, Tohari menggambarkan nasib malang yang dialami Rasus, seorang petani gula kelapa, menghadapi ulah para tengkulak. Mempertaruhkan maut menyadap nira dan bersimbah keringat mengolah nira menjadi gula, akhirnya toh dia hanya bisa pasrah menerima harga rendah yang ditawarkan seorang tengkulak di desanya, Pak Tirta. Tokoh Rasus dalam novel itu barangkali mewakili potret buram nasib 30-ribuan petani gula kelapa yang tersebar di sentra kerajinan gula kelapa Banyumas seperti Purwojati, Jatilawang, Wangon, Ajibarang, dan Cilongok.
Di kampungku, ujung utara ibukota kecamatan Cilongok, gula kelapa menjadi tumpuan hidup ratusan keluarga, terutama mereka yang tidak memiliki sawah. Sebagian besar dari mereka hanyalah buruh penderes, sebutan penyadap nira dan petani gula kelapa di Banyumas. Mereka menyadap nira dari pohon kelapa yang dimiliki tetangganya yang lebih kaya dengan imbalan beberapa kilo gula setiap hari pasaran. Sistem setoran gula seperti sewa ini disebut dengan mendreng.
Biasanya penderes menyetor setiap 35 hari sekali pada hari pasaran pon atau legi. Jumlah gula yang disetor tergantung kesepakatan, antara penderes dan pemilik pohon kelapa. Untuk setiap pohon yang dia sadap niranya, seorang penderes menyetor antara setengah sampai dua setengah kilo gula. Tapi itu tidak mutlak, karena tergantung kesuburan dan banyaknya nira yang bisa diambil.
Tidak ada yang tahu pasti mulai kapan aktivitas ekonomi ini berkembang. Konon, ketrampilan membuat gula kelapa ini sudah dikenal turun-temurun sejak masa Majapahit. Di kampungku ada juga cerita orang tua yang mengaitkan gula kelapa dengan Islam, karena pembuatan gula kelapa yang dipelopori para penyebar Islam mencegah pembuatan tuak dari nira seperti yang konon katanya lazim dilakukan pada masa lalu. Entahlah, tapi menurutku cerita yang mengaitkan gula dengan Islam ini terlalu mengada-ada.
***
Seorang penderes menghabiskan 3-8 jam waktunya untuk memanjat 10-35 pohon kelapa, mengambil pongkor (bumbung bambu tempat nira), memotong manggar (bunga kelapa), dan mengikat pongkor pada manggar. Pekerjaan ini tidak mengenal hari libur karena terlambat beberapa jam saja, nira tidak lagi bisa diolah menjadi gula. Kalaupun dipaksakan dimasak, nira masam ini hanya akan menjadi gula gemblung (gila). Gula gemblung adalah sebutan larutan kental nira yang tidak bisa kering dan dicetak menjadi gula. Gula gemblung adalah musibah bagi para penderes karena harganya sangat rendah.Untuk mendapatkan gula berkualitas bagus, seorang penderes harus segera memasak nira yang disadapnya. Dulu mereka melakukannya dengan tungku besar dan kayu bakar. Sekarang mereka melakukannya diatas tungku khusus dengan serbuk kayu (gergajian) atau merang (kulit padi) yang dipadatkan. Gergajian dan merang sangat mudah didapatkan dari pabrik pemotongan kayu atau “rice mill” yang ada di kampungku atau kampung sebelah.
Pon atau legi adalah saat yang ditunggu semua penderes. Inilah saat ketika mereka mendapatkan uang tunai dari penjualan gulanya. Bisa dipastikan pada hari pasaran ini, warung, pasar, dan kios di kampung kecilku ramai oleh para penderes dan keluarganya yang sedang berbelanja kebutuhan sehari-hari.
Ramai tidaknya hari pasaran di kampungku adalah pertanda paling mudah untuk mengetahui naik-turunnya harga gula. Di kalangan penderes, ukuran tinggi rendahnya harga gula biasanya disandingkan dengan harga beras. Harga gula dianggap naik kalo sekilo gula sebanding atau lebih tinggi dari harga sekilo beras. Sebaliknya, harga gula dianggap rendah kalo nilainya lebih kecil dari harga sekilo beras.
***
Seorang juragan menjadi penghubung utama antara penderes dengan pasar di luar desa. Juragan gula ini uniknya bertempat tinggal di pemukiman pinggiran desa dan tersebar di empat penjuru angin. Mungkin ini ada hubungannya dengan tempat tinggal para penderes yang tersebar di pinggiran desa sebelah utara, selatan, barat dan timur. Di kampungku, ada istilah mapagi, yaitu menunggu dan menjemput bola para penderes yang sedang berjalan membawa gulanya setiap hari pasaran.
Karena hubungan sosial yang dekat, seorang penderes akan dibuat “rikuh” jika dia melewati rumah seorang juragan di dukuhnya tanpa memberikan gulanya kepadanya. Sangat jarang terjadi seorang penderes yang tinggal di selatan desa menjual gulanya ke juragan gula di utara desa, demikian juga sebaliknya. Tanggungan utang yang besar pada para juragan gula membuat posisi tawar penderes sangat lemah. Mereka biasanya hanya bisa menerima berapapun harga yang ditawarkan juragan langganannya.
Juragan gula adalah tumpuan utama bagi para penderes untuk mendapatkan uang tunai atau barang kebutuhan sehari-hari seperti beras, minyak, rokok, gula pasir, ikan asin dll. Seorang juragan dengan modal besar biasanya hanya menyediakan uang tunai kepada penderes. Sedangkan mereka dengan modal yang lebih kecil biasanya menjalankan warung yang menyediakan kebutuhan sehari-hari penderes langganannya.
Hubungan keduanya bisa digambarkan dalam dua ekstrem, eksploitatif dan bisa juga saling menguntungkan. Eksploitatif karena juragan menjadi penentu satu-satunya dan mutlak harga dan kualitas gula yang dibawa penderes. Sangat jarang terjadi seorang penderes menerima penuh uang penjualan gulanya. Seorang penderes biasanya menerima penjualan gula setelah dikurangi bunga pinjaman yang dikenakan seorang juragan. Di sisi lain, hubungan ini juga bersifat saling menguntungkan karena seorang juragan adalah juga kreditor yang sangat gampang bagi penderes dalam situasi darurat seperti hajatan, sakit, dan lainnya. Bonafid tidaknya seorang juragan di mata penderes biasanya ditentukan oleh kemampuannya menyediakan pinjaman uang kapanpun seorang penderes membutuhkannya.
Seorang juragan gula di kampung dengan modal lumayan menjual gulanya ke tengkulak besar Tionghoa di Purwokerto atau bahkan mungkin langsung ke tengkulak besar di Jakarta. Sedangkan seorang juragan dengan modal yang lebih kecil mengecerkan gulanya secara langsung ke pasar kabupaten sekitar Banyumas, seperti Tegal atau Brebes. Di Purwokerto, ada seorang juragan Tionghoa yang dianggap sebagai juragan gula terbesar di karesidenan Banyumas dengan omzet puluhan milyar setahun.
Dari juragan besar di Purwokerto atau Jakarta ini, gula kelapa kemudian dipasarkan ke konsumen menengah ke atas. Sebagian masuk ke jaringan supermarket dan pasar modern, sebagian lain masuk ke pabrik makanan seperti Indofood atau Unilever. Industri makanan dalam negeri ini menggunakan gula kelapa utamanya untuk membuat kecap, kue dan makanan lainnya. Tapi ada juga yang masuk ke pasar ekspor seperti Jepang dan Australia. Beda dengan di Indonesia, Jepang konon menggunakan gula kelapa kristal dari Indonesia sebagai bahan baku campuran cat. Karena permintaan yang tinggi untuk ekspor ke Jepang, saat ini semakin banyak orang yang membuat gula kelapa kristal. Sementara untuk Australia, hampir semua ‘Asian Store’ menjual gula kelapa ‘made in Indonesia’.
Waktu pertama mendapatkan gula kelapa kemasan 100 gram di sebuah Asian Store di Canberra, aku cukup kaget mendapati harganya yang $3,5. Itu artinya, sekilo gula kelapa disini dihargai sekitar 200 ribu perak. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala tidak percaya karena seorang penderes di kampungku sudah sangat bersyukur jika juragan membeli gulanya Rp 5000 per kilo. Itupun hanya 2-3 kali saja dalam setahun.
***
Struktur pasar yang timpang seperti itu sudah berlangsung puluhan tahun. Pada 1970-an pernah ada usaha kolektif untuk memberantas sistem ijon yang lazim dilakukan para tengkulak/juragan. Ini dilakukan dengan mendirikan koperasi gula kelapa. Koperasi gula kelapa di Banyumas pernah memiliki aset yang lumayan besar seperti gedung kantor, gudang dan kendaraan. Tapi karena ketidakbecusan para pengelolanya, koperasi gula kelapa ini akhirnya bangkrut dengan meningggalkan aset-aset yang menjadi bancakan segelintir orang. Tidak heran kalo para penderes punya istilah sarkastis untuk koperasi, ‘kopras-kopres ora isi”, artinya kira-kira cuman bisa ngomong tak ada bukti.
Pada masa kepemimpinan Djoko Sudantoko (1988-1998), Pemda juga pernah mencoba melakukan intervensi langsung untuk memberantas sistem ijon dalam pemasaran gula kelapa. Caranya dengan mengalokasikan dana dari APBD untuk membeli gula dari para petani. Tapi karena perlawanan keras dari para juragan besar, usaha inipun akhirnya kandas.
Dengan jumlah produksi tidak kurang dari 44 ribu ton per tahun, gula kelapa adalah bisnis yang sangat menggiurkan. Juragan dengan modal besar menguasai jaringan pemasaran yang sangat luas dan sumber dana yang hampir tanpa batas untuk dikucurkan kepada para penderes. Dengan iming-iming uang tunai inilah para juragan mengikat penderes untuk menjual gulanya terus-menerus kepadanya, meski dengan harga rendah sekalipun.
Problem internal dan kondisi struktural tidak bersahabat yang dialami para penderes seringkali memunculkan aksi-reaksi dalam bentuk perlawanan dan anti perlawanan antara penderes dengan para juragan. Seorang penderes kadang mengemplang utangnya kepada juragan jika dia merasa harga yang ditawarkan terlalu rendah. Umumnya ini dilakukan dengan menjual gulanya secara diam-diam kepada saingan juragan langganannya. Tidak jarang seorang penderes juga menambahi bahan lain ketika mencetak nira kental agar timbangan gulanya bertambah. Bahan lain ini bisa berupa bahan yang tidak berbahaya seperti dedak, singkong sampai yang berbahaya seperti kerikil, arang kayu, dan baterai bekas. Caranya, mereka memasukkan bahan-bahan ini ke tengah cetakan bambu yang kemudian dituangi cairan nira kental. Ketika nira mengering menjadi gula, sekilas tak terlihat kalau gula cetakan itu sebenarnya mengandung segala macam sampah seperti dedak, singkong, kerikil dan lainnya di dalamnya,
Menghadapi ‘ulah nakal’ penderes yang rutin seperti ini, maka seorang juragan biasanya adalah tipe pedagang yang lihai berdiplomasi. Seorang juragan yang lihai umumnya tahu persis kondisi penderes langganannya, seperti berapa banyak pohon kelapa yang disadap, berapa kilo hasil niranya dalam satu pasaran, dan lainnya. Ini untuk memastikannya tidak salah melakukan penilaian terhadap kelayakan kredit (credit worthiness) penderes langganannya.
Seorang penderes yang biasanya hanya menyetor 10 kilo gula tapi tiba-tiba bisa menyetor 15 kilo di minggu berikutnya pastilah tidak akan lepas dari kecurigaan seorang juragan. Dia akan mengemukakan beribu alasan untuk menurunkan harga gula sang penderes hanya seharga 10 kilo seperti biasanya. Setelah si penderes pulang, diam-diam dia akan menuangkan air panas atau memotong gula yang dicurigainya. Gula yang telah dicampur dengan dedak atau singkong misalnya, akan segera mencair ketika dituang air panas.
Dengan ini dia bisa menanggapi ‘kecurangan’ yang dilakukan penderes langganannya tanpa harus mempermalukannya secara langsung dan yang lebih penting, menjaga bisnisnya tetap jalan, menguntungkan dan menjaga loyalitas penderes langganannya agar tidak lari ke juragan saingannya. Tapi strategi pertama ini biasanya jarang dilakukan karena menurunkan harga terlalu rendah mengandung resiko larinya penderes ke juragan lain.
Umumnya seorang juragan lebih memilih strategi lain untuk memenangkan reaksi perlawanannya terhadap penderes. Menolak pinjaman baru sebelum pinjaman lama lunas lebih sering ditempuh karena ini mengandung resiko lebih kecil untuk memunculkan ‘pembangkangan’ para penderes. Seorang juragan yang memiliki warung biasanya melakukan ‘trick’ tawar-menawar untuk menjaga loyalitas penderes. Dia akan menurunkan harga untuk barang utama yang dibutuhkan penderes tapi menaikkan harga untuk barang kebutuhan sekundernya. Misal seorang penderes yang sangat membutuhkan beras, dia akan sangat senang jika bisa mendapatkan sekilo beras dengan harga 50 atau 100 perak dari warung lain. Dia tidak sadar kalo diam-diam si juragan menaikkan harga sabun, gula, kopi atau rokok yang dibelinya untuk menutup harga beras yang diturunkan sebelumnya. Cara seperti ini biasanya sudah cukup untuk melambungkan reputasi si juragan di mata penderes.
***
Perdagangan gula kelapa di Banyumas mewakili apa yang diistilahkan Polanyi dengan fenomena pasar yang mengatur dirinya sendiri (self-regulating market). Pasar yang mengatur dirinya sendiri ini sayangnya tidak dibarengi dengan perlindungan yang memadai bagi mereka yang berada di hierarki terbawah, yaitu penderes. Penderes tetap menjadi pihak yang paling ‘vulnerable’ terhadap tindakan pendisiplinan pasar. Berbeda dengan para juragan yang bisa mengalihkan resiko pendisiplinan pasar kepada penderes – dalam bentuk penurunan harga dll – , penderes harus menanggung sendiri resiko itu.
Seperti juga nasib Rasus di novelnya Tohari, kalo ada penderes yang mengalami kecelakaan karena jatuh dari pohon kelapa yang dipanjatnya, mungkin ini akibat terlalu penat memikirkan kenapa manis gula yang mereka buat tidak semanis hidup mereka yang selalu saja melarat…
Sumber : http://lafadl.wordpress.com/2007/01/22/jika-pasar-dibiarkan-mengatur-dirinya-sendiri…/