....Selamat untuk anakku Alifia Qurata Ayun wisuda Sarjana Farmasi.....

Jumat, 23 Agustus 2013

GULA KRISTAL PUTIH KELAPA (GKP KELAPA).

GULA KRISTAL PUTIH KELAPA (GKP KELAPA).







-       Manis saja tanpa aroma dapat diberi aroma sesuai keinginan.
-       Sangat mudah larut meskipun dalam air dingin.
-       Turunan dari nira kelapa dengan glikemik indek 35.
-       Menghindari Obesitas.
-       Nutrisi lebih lengkap.
-       Tidak menggumpal (caking) karena moisture content rendah


Tradisional coconut cristal sugar (gula semut) karena diproses dengan open pan selalu terjadi over heating dan mengakibatkan karamelisasi (caramel taste), kurang ideal untuk pemanis the atau kopi atau syrup dengan aroma lain (vanilla, orange dll) caramel taste akan berbenturan.

SEJARAH.

Entah sejak mulai kapan manusia mengetahui bahwa apabila  bunga kelapa yang belum mekar apabila disayat akan mengeluarkan tetesan yang berwarna putih dan berasa  manis, begitu pula dengan jenis jenis palma yang lain aren, siwalan, nipah bahkan kelapa sawit, dan temuan itu berlanjut dengan menjadikan tetesan itu sebagai minuman beralkohol (tuak), berlanjut dengan memanasi tetesan tersebut diatas jedi terbuka sampai kental dan menjadi bahan pemanis (gula mangkok, gula batok, gula jawa) dalam perkembangannya juga dihasilkan gula kelapa Kristal yang disebut gula semut.

Dengan letak geografis di sekitar khatulistiwa Indonesia harusnya menjadi produsen produk turunan kelapa terbesar dunia, saat ini untuk turunan pemanis dari kelap Indonesia pada posisi ketiga.


Pertanyaannya yang muncul kemudian adalah :

1.    1.Mungkinkah tetesan nira tersebut dapat diproses menjadi Gula Kristal Putih Kelapa (kita sudah mengenal Gula Kristal Putih Tebu, Gula Kristal Putih Beet).
2.    2.Berapa proyeksi produksi Gula Kristal Putih Kelapa per ha? dan keekonomisan untuk di kelola secara industry.

PRODUK PEMANIS DARI NIRA KELAPA.




Dari ilustrasi diatas terlihat berbagai produk yang telah dihasilkan dari proses nira kelapa, proses tradisionel umumnya menghasilkan gula cetak dan gula semut, proses tradisionel dicirikan dengan proses pengauapan terbuka (open pan direct firing), sehingga nira diuapkan pada titik didih diatas 105-110 celsius, sehingga caramelisasi tidak bisa di hindarkan (caramel taste).
Dengan penguapan vacuum nira akan diuapkan pada titik didih yang lebih rendah 55 sd 75 celsius, sehingga kenaikan intensitas warna terkendali, tidak ada caramelisasi dan inverse gula disakarida relative sangat rendah, sehingga dapat dihasilkan gula cetak dengan warna terang, syrup dengan warna terang, gula semut dengan warna terang dan juga GULA KRISTAL PUTIH KELAPA

PROYEKSI PRODUKSI PER HA.
Produksi nira kelapa berdasarkan pengambilan nira di Blitar periode 2012 – 2013 rata rata dari 997 pohon didapatkan nira dalam range 1.800 liter sd 2.400 liter per hari atau 1.8 sd 2.4 liter perbatang kelapa per hari atau rerata 2 liter per pohon per hari., padatan terlarut dalam nira berkisar 13 sd 16 tergantung dari musim.


Pengambilan nira dari Blitar rata rata 2.400 liter/hari (periode 2012 – 2013), selanjutnya nira dip roses di Jombang.

Dari angka diatas apabila kebun kelapa di budidayakan dengan jarak tanam 8.5 x 8.5 meter didapat 130 pohon kelapa per ha dan dengan rerata produksi nira 2 liter per hari dan 300 hari sadap per tahun akan didapatkan nira 78.000 liter nira pertahun.


Didapatkan hasil produksi per ha kebun kelapa sbb:
Gula Kristal Putih Kelapa = 5.9 ton
Coconut Syrup = 5.9 ton,

PRODUKTIVITAS GULA TEBU DIBANDING GULA KELAPA.

Kebun tebu dengan produktivitas tebu 80 ton tebu per ha per tahun dengan rendemen 7,5% hanya mendapatkan 6 ton gula kristal putih tebu dan hasil sampingan 2.8 ton tetes tebu,  1 ha kebun kelapa ( 130 pohon ) dapat dihasilkan 78.000 liter nira dengan brix rerata 15 dan akan menghasilkan 5.9 ton gula Kristal putih kelapa dan 5.9 ton syrup kelapa yang nilai ekonomisnya lebih berlipat dari nilai jual 6 ton gula Kristal putih tebu plus 2,8 ton tetes tebu.

Dari angka angka diatas terlihat bahwa gula kristal putih kelapa kedepan akan lebih menjanjikan dibanding dengan gula kristal putih tebu dan tentu dengan budai daya yang baik akan berdampak positip bagi semua stake holder.


NO
URAIAN
KEBUN KELAPA
KEBUN TEBU
1
Sifat tanaman
Tanaman keras
Tanaman semusim
2
Panen perdana
4-5 tahun kelapa genjah
1 tahun
3
Penyerapan tenaga
Rata sepanjang tahun
Musiman
4
Iklim dan curah hujan
Tidak berpengaruh
Sangat   berpengaruh
5
Lahan
Tidak Specifik
Specific
6
Skala usaha
Kecil - menengah
Menengah - besar
7
Produktivitas ton/ha
5.9 ton GKP- 5.9 ton syrup
6 ton GKP – 2.8 ton tetes


Tulisan diatas semoga menggugah hati para pemangku kepentingan pergulaan untuk melirik dan mengkaji potensi GULA KRISTAL PUTIH PALMA untuk juga mengisi kekurangan pasokan gula nasional dan agar tidak terlalu tertinggal dengan Negara tetangga

Sumber : http://pabrikgulamini.blogspot.com/2013/08/gula-kristal-putih-kelapa-gkp-kelapa.html?m=1

Senin, 05 Agustus 2013

Kelapa Pandanwangi di Thailand


kelapa-pandanwangi


Kelapa Pandanwangi di Thailand

Kelapa pandanwangi telah menjadi industri besar di Thailand. Kelapa pandanwangi istimewa karena memiliki air berasa manis dengan aroma pandan. Di Thailand, kelapa pandanwangi diekspor ke mancanegara dalam buah segar dengan bobot 800–900 gr per buah. Sentra kelapa pandanwangi di negeri Gajah Putih itu berada di 3 provinsi yakni Samutshakron, Nakronpathom, dan Ratchaburi. Di Samutshakron kelapa pandanwangi sudah dikebunkan secara meluas dengan jarak tanam 6 m x 6 m. Di sana pula eksportir dan industri pengolahan kelapa mayoritas menetap.

Kelapa pandanwangi mulai berproduksi setelah berumur 3 tahun. Setiap pohon bisa menghasilkan 10–12 tandan dengan jumlah buah mencapai 8–12 buah per tandan. Bila sudah berproduksi maksimal, setiap kelapa pandanwangi yang umur produktifnya mencapai umur 15 tahun itu, bisa dipanen setiap 20–25 hari sekali. Untuk menjaga kontinuitas panen itu pekebun setempat memupuk kelapa pandanwangi setahun 2 kali memakai pupuk kandang atau pupuk organik sebanyak 30 kg/pohon/6 bulan. 

Dari setiap panen tidak seluruh kelapa pandanwangi memenuhi standar ekspor yang diinginkan: semua batok di dalam buah dibungkus daging buah empuk agak tebal. Namun ada pula kelapa yang separuh sampai tiga perempat berisi daging buah. Kelapa pandanwangi yang tidak memenuhi standar tersebut diolah airnya menjadi minuman kemasan.

Sumber : http://www.bebeja.com/kelapa-pandanwangi-di-thailand/


Kelapa Pandanwangi di Thailand
Kelapa Pandanwangi di Thailand

Jumat, 01 Maret 2013

KAJIAN TEKNO-EKONOMI PRODUKSI FUEL GRADE ETHANOL DARI NIRA AREN DAN KELAPA SEBAGAI SUMBER ENERGI ENGINE ALTERNATIF

KAJIAN TEKNO-EKONOMI PRODUKSI FUEL GRADE ETHANOL  DARI NIRA AREN DAN KELAPA SEBAGAI SUMBER ENERGI ENGINE ALTERNATIF


Oleh :  L. EGA (BP. KAPET SERAM – MALUKU, UNDP – JAKARTA), BAMBANG TRIWIYONO, dkk (BPPT – JAKARTA)
Sumber: http://kapetseram.s5.com/info_bioetanol.html

I. PENDAHULUAN
Sejak akhir tahun 2004 Indonesia merupakan satu-satunya negara anggota OPEC yang telah menjadi net importer minyak mentah. Penurunan ekspor BBM secara perlahan sudah berlangsung sejak 1991, sementara itu untuk memenuhi kebutuhan kilang BBM lokal, Indonesia harus mengimpor minyak mentah dalam volume yang makin tinggi. Sulit dihindarkan bahwa sejak 2004 sektor yang sangat vital ini tidak lagi sebagai mesin devisa untuk menopang ekonomi nasional, bahkan telah berubah menjadi beban yang menimbulkan berbagai masalah terhadap kesejahteraan rakyat.

Mengingat harga minyak mentah dunia cenderung terus meningkat hingga melebihi US$ 50.0/barrel, sedangkan impor minyak mentah dan hasil olahannya untuk kebutuhan dalam negeri juga semakin meningkat, maka dibutuhkan berbagai langkah strategis untuk menghemat cadangan energi konvensional, menjaga ketersediaan energi, serta mengurangi pembelanjaan devisa dari sektor ini.
Di samping itu, penggunaan energi fosil telah menimbulkan emisi berbagai gas yang menjadi polutan berbahaya di udara. Bahan aditif timbal yang selama ini digunakan sebagai peningkat angka oktan (octane enhancer) pada bahan bakar bensin ikut berkontribusi terhadap pencemaran udara tersebut. Penggunaan MTBE (Methyl Tertiary Butyl Ether) sebagai pengganti TEL (Tetra Ethyl Lead) merupakan upaya untuk mengurangi pencemaran lingkungan, namun bahan tersebut harus diimpor, dan penggunaannya sudah mulai dilarang di berbagai negara.

Dalam upaya mengatasi berbagai masalah tersebut, program pengembangan bioetanol dari biomasa perlu diaktifkan kembali, dengan multi effect sebagai berikut:
  1. Pemanfaatan bioetanol sebagai bahan bakar alternatif atau pengganti aditif pada bensin untuk otomotif, yang dapat diperbaharui (renewable), dan dapat diproduksi dari hasil pertanian.
  2. Penghematan devisa karena pengurangan impor MTBE (Methyl Tertiary Butyl Ether) dan minyak olahan akibat disubstitusi oleh bioetanol.
  3. Peningkatan dayaguna berbagai sumber karbohidrat yang potensial untuk bahan baku produksi bioetanol, seperti nira aren, sorgum manis, biji sorgum, ubi kayu dan lainnya.
  4. Memberikan peluang/potensi komersial dari Carbon Credit yang sesuai dengan skema Clean Development Mechanism yang diamanatkan dalam Kyoto Protocol.
  5. Meningkatkan ekonomi pedesaan secara nasional melalui pengembangan industri bioetanol dan agroindustri pendukungnya yang terdesentralisasi di kawasan pertanian-pedesaan.
  6. Menciptakan lapangan pekerjaan bagi berbagai tingkatan pendidikan
  7. Mengurangi polusi udara dan segala dampak negatifnya
Dalam rangka mengimplementasikan upaya pengembangan bioethanol tersebut hingga tingkat daerah, maka perlu dilakukan kajian tekno-ekonomi nira aren (Arenga pinnata) sebagai bahan baku produksi bioetanol skala kecil. Nira aren merupakan salah satu sumber karbohidrat dari palma yang belum dikaji secara mendalam untuk digunakan sebagai bahan baku industri bioetanol, walaupun secara tradisional sudah lama dimanfaatkan untuk pembuatan minuman beralkohol.

II. TINJAUAN TEKNIS

2.1.  SIFAT ETHANOL
Ethyl alcohol atau ethanol adalah salah satu turunan dari senyawa hidroksil atau gugus OH, dengan rumus kimia C2H5OH. Istilah umum yang sering dipakai untuk senyawa tersebut, adalah alkohol. Ethanol mempunyai sifat tidak berwarna, mudah menguap, mudah larut dalam air, berat molekul 46,1, titik didihnya 78,3°C, membeku pada suhu –117,3 °C, kerapatannya 0,789 pada suhu 20 °C, nilai kalor 7077 kal/gram, panas latent penguapan 204 kal/gram dan mempunyai angka oktan 91–105 (Alico, 1982).

2.2.  PENGGUNAAN ETHANOL
Ethanol dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Setelah dicampurkan dalam gasoline, digunakan sebagai bahan bakar di berbagai negara seperti Brazil, Amerika Serikat, Argentina, Australia, Kuba, Jepang, Selandia Baru, Afrika Selatan, Swiss dan lain-lain. Pada masa Perang Dunia I dan II industri alkohol berkembang pesat, dengan tujuan utama sebagai bahan bakar. Selain itu etanol banyak digunakan juga dalam industri minuman, kosmetik dan industri pharmasi seperti deterjen, desinfektan dan lain-lain. Alkohol dari produk petroleum atau dikenal sebagai alkohol sintetis banyak dipakai untuk bahan baku pada industri acetaldehyde, derivat acetyl dan lain-lain.

2.3. PEMBENTUKAN ETHANOL
Ethanol untuk kebutuhan industri dapat dibuat secara fermentasi dari karbohidrat, yang produknya disebut sebagai bioethanol; atau hasil reaksi kimia dengan cara hidrasi ethylene, memakai katalis asam pospat. Ethanol dari hidrasi gas ethylene yang merupakan hasil samping pemurnian minyak bumi, dikenal sebagai ethanol sintetis. Setelah Perang II, eksplorasi minyak bumi secara besar-besaran memungkinkan pembuatan ethanol sintetis lebih murah dan menggantikan proses produksi ethanol secara fermentasi. Namun sejak kenaikan harga yang disertai ketidak-pastian penyediaannya, telah memacu berbagai negara Eropa, US, Brazil, untuk mengembangkan kembali teknologi pembuatan ethanol secara fermentasi, terutama bertumpu pada sumber daya yang dapat terbarukan. Pembuatan ethanol secara sintetis tidak dibahas lagi, mengingat salah satu tujuan pengembangan produk alkohol di sini, adalah sebagai bahan bakar cair pengganti minyak bumi.

Penerapan teknologi fermentasi ethanol dalam skala industri, sejak Perang Dunia II belum ada perubahan yang mendasar. Proses fermentasinya menggunakan sistem bacth dengan masa inkubasi berkisar 50 jam dan semata-mata mengandalkan strain khamir yang telah terpilih secara nyata berproduktivitas tinggi. Khamir mempunyai sifat selektivitas sangat tinggi untuk membentuk ethanol (metabolite lain sebagai hasil samping sangat kecil) dan sangat tahan terhadap perubahan kondisi pertumbuhan atau gangguan kontaminasi (Maiorella dkk, 1981). Konsentrasi ethanol dalam broth di akhir proses, berkisar 8 sampai 12%v.v dan selanjutnya dipekatkan (dimurnikan) dengan proses distilasi atau cara lain. Berbagai penelitian maupun pengembangan modifikasi sistem proses fermentasi dan atau penggunaan mikroba lain, telah banyak dilakukan untuk memperbaiki hasil, meningkatkan konsentrasi ethanol dalam broth dan mempersingkat waktu proses (Alico, 1982; Kosaric dkk, 1981; Maiorella dkk, 1981).

Penemuan bakteri thermophilic Clostridium thermosaccharolitycum dan Zymomonas mobilis yang mampu mengubah glukosa menjadi ethanol secara efesien dan cepat, merupakan peluang yang penting untuk meningkatkan produktivitas pada proses pembuatan ethanol. Produktivitas Zymomonas mobilis dapat mencapai 600 g ethanol per-jam setiap liter fermentor. Namun demikian, konsentrasi ethanol dalam broth masih rendah, yaitu 6~8%vv. Sebagai pembanding, produktivitas Saccharo-myces cerevisiae pada proses fermentasi secara batch hanya 1.8 hingga 2.5 g per-jam dalam setiap liter fermentor (Kosaric dkk, 1981; Maiorella dkk, 1981; Scott, 1983).

Kapang juga mempunyai prospek bagus untuk industri ethanol. Sebagai contoh genus Rhizopus yang biasa digunakan dalam proses fermentasi anggur China tipe tertentu. Kadar ethanol akhir dalam broth anggur tersebut mendekati 18 %vv (Wittcoff, 1980).

2.4. BAHAN BAKU
Bahan baku untuk pembuatan ethanol secara fermentasi berupa karbohidrat, dan hampir semua karbohidrat terbentuk dalam tanaman melalui proses photosintesa, baik sebagai gula (sakharida) yang terdiri dari satu atau dua gugus sakharosa, maupun senyawa lebih komplek sebagai zat pati dan selulosa.

Bahan sumber gula yang dapat dibuat menjadi ethanol, meliputi nira tebu, nira kelapa, nira aren, beet dan sweet sorghum, namun bahan ini paling mahal dan biasa digunakan dalam industri gula. Molases sebagai hasil samping dari industri pembuatan gula tersebut, lebih umum digunakan sebagai bahan baku industri ethanol, dari pada langsung diambil niranya. Keuntungan penggunaan nira gula dan molases dalam industri ethanol, yaitu tidak memerlukan proses pendahuluan karena bentuk senyawa karbohidratnya sudah siap diubah oleh mikrobia (Kosaric dkk, 1981; Maiorella dkk, 1981).

Bahan hasil pertanian yang berkadar pati tinggi, meliputi biji-bijian (gandum, jagung, beras, dll), kacang-kacangan dan umbi-umbian (kentang, ubi jalar dan ubi kayu). Karbohidrat dalam bentuk zat pati tersebut untuk pembuatan ethanol harus dihidrolisa dahulu menjadi glukosa. Pada Tabel 1 disajikan potensi berbagai jenis tanaman yang biasa dibudi-dayakan dan dapat dijadikan bahan baku bioethanol. Berdasarkan hasil panennya terlihat, bahwa beet dan kentang merupakan tanaman pilihan terbaik untuk daerah beriklim sedang. Adapun tebu dan ubi kayu tampaknya paling potensial untuk daerah tropis. Ubi kayu bersifat lebih kokoh dan tidak memerlukan persyaratan kualitas tanah yang tinggi.

0tabel1


Adapun nira yang biasa dideras dari berbagai jenis palma (Arenga pinnata, Borassus flabellifer, Cocos nucifera and Nypa fruticans) kandungan total sugarnya berkisar 10-20%. Apabila dibudidayakan dengan baik, akan sangat potensial dimanfaatkan untuk pembuatan ethanol, karena produktifitasnya bisa mencapai 20 ton gula per hektar per tahun (Dalibard, 1997). Pengolahannya untuk bahan baku bioethanol akan diperoleh 8,8 ton atau setara 11.000 liter Fuel Grade Ethanol per hektar per tahun.

2.5 Biosintesa Ethanol (Fermentasi)
Mikrobia yang biasa diharapkan aktif dalam perubahan glukosa menjadi ethanol, adalah khamir dari spesies Saccharomyces cerevisiae. Pada fermentasi sistem batch, metabolisme khamir diharapkan berlangsung pada kondisi anaerob, karena adanya cukup oksigen (aerob) akan menjadikan S. cerevisiae berkembang bagus tetapi ethanol sebagai salah satu produk metabolismenya hanya terbentuk sedikit (Crueger, 1984). Secara umum, kondisi anaerob glukosa akan terurai menjadi ethanol dan karbon dioksida melalui proses glikolisis. Dalam keseluruhan reaksi tersebut, dihasilkan energi untuk kebutuhan biosintesa, serta terbentuknya 2 mole ethanol dan karbon dioksida dari tiap mole glukosa yang dikonsumsi (pers 1)

C6H12O6 ——–> 2 C2H5OH + 2 CO2 + Energi (1)

Berdasarkan perhitungan berat, dari 1,0 gr glukosa secara teoritis akan dihasilkan ethanol 0,51 gr. Namun dalam kenyataan, ethanol yang diperoleh hanya berkisar 90% terhadap hasil teoritis.

Sebagian glukosa tersebut digunakan sebagai sumber karbon untuk pembentukan sel baru, dengan perhitungan seperti pada persamaan 2 berikut ini (Maiorella dkk, 1981)

1 g (C6H12O6) —-> 0,46 g (C2H5OH) + 0,44 g (CO2) + 0,10 g (sel-sel baru) (2)

Pembentukan ethanol sistem batch, diawali dengan kondisi aerob kemudian dilanjutkan dengan kondisi anaerob. Jika kondisi anaerob dimulai terlalu dini maka sel yang ada tidak cukup banyak untuk melakukan fermentasi secara bagus. Bahkan untuk mewujudkan kondisi aerob perlu diadakan aerasi sebentar supaya nantinya tidak banyak kehilangan hasil (Crueger, 1984).

Beberapa faktor penting yang mempengaruhi hasil ethanol dan efisiensinya, yaitu (1) kondisi fisiologis inokulum mikroba yang ditambahkan ke dalam media, (2) kondisi lingkungan selama proses fermentasi berlangsung, dan (3) kualitas bahan media. Kondisi fisiologis (seed) tergantung pada kondisi pertumbuhan optimal yang spesifik bagi mikroba yang digunakan. Faktor lingkungan yang paling penting, yaitu pH dan suhu. Sedangkan faktor lain (1) buffer capacity, (2) tingkat kontaminasi di awal pertumbuhan, (3) kepekatan gula, (4) konsentrasi alkohol, (5) pemilihan strain khamir, (6) kebutuhan nutrisi bagi pertumbuhan khamir, dan (7) jumlah oksigen yang tersedia (Stark dalam Alico, 1982).

Pengaturan suhu dalam fermentor perlu dilakukan, terutama dalam selang waktu 48 jam di awal proses fermentasi. Suhu optimal untuk pertumbuhan khamir berkisar 28,9°~32,2°C. Di atas suhu tersebut, aktifitas khamir pada umumnya sudah terhambat dan cocok bagi pertumbuhan bakteri kontaminan. Adanya panas yang terbentuk selama proses fermentasi (125 Kcal/g ethanol) harus dipertimbangkan pula dalam upaya pengaturan suhu proses (Alico, 1982).

Kontaminasi mikroba yang tak diinginkan dapat diusahakan sekecil mungkin, dengan menambahkan inokulum khamir dalam jumlah besar. Hal ini untuk meyakinkan, bahwa pertumbuhan khamir jauh lebih besar dari pada kontaminan dan nutrient yang ada segera habis terkonsumsi. Jumlah cairan inokulum berkisar 3–8% terhadap jumlah bubur media fermentasi, dengan kerapatan sel 3×106 per ml (Alico, 1982; Crueger, 1984).

Penentuan konsentrasi gula dalam media, dipengaruhi oleh dua hal yang mendasar, yaitu (1) konsentrasi gula yang terlalu tinggi akan menghambat pertumbuhan sel khamir di awal proses fermentasi, dan (2) konsentrasi ethanol tinggi akan mematikan khamir (Alico, 1982). Glukosa yang melebihi 15%wv akan menghambat berbagai enzim yang dihasilkan sel khamir. Toleransi berbagai khamir terhadap ethanol tergantung pada strain yang dipilih, tetapi secara umum pertumbuhan sel terhenti sepenuhnya dalam alkohol yang konsentrasinya lebih besar 13,6 %vv (Maiorella, 1981).

Dalam media fermentasi, selain ada sumber gula untuk pembentukan ethanol, juga harus tersedia nutrisi yang dapat menunjang pertumbuhan sel. Kebutuhan utama untuk komponen dasar sel, yaitu unsur karbon, oksigen, nitrogen dan hidrogen. Bahan lain yang diperlukan dalam jumlah sedikit untuk komponen sel yaitu unsur pospor, sulfur, kalium dan magnesium. Disamping itu perlu trace minerals dan growth factor berupa asam amino, purine, pirimidin dan vitamin. Growth factor yang paling penting untuk khamir, meliputi biotin, asam pantotenat, inositol, thiamin, asam nikotinat, dan asam folat (Maiorella, 1981).

Namun dalam skala industri, unsur karbon, hidrogen dan oksigen umumnya tersedia dalam sumber karbohidrat. Unsur nitrogen selain terdapat dalam asam amino, disediakan pula dalam bentuk amoniak atau berbagai garam amonium, terutama amonium sulfat. Berdasarkan alasan ekonomis, urea juga sering digunakan, tetapi kurang cepat terasimilasi kecuali jika disertai penambahan biotin. Unsur pospor biasanya disediakan sebagai asam pospat atau amonium/kalium pospat. Sedangkan komponen lain umumnya sudah terdapat dalam sumber karbon, meskipun kadangkala perlu penambahan magnesium, Cl, sulfat, biotin dan thiamin (Maiorella, 1981).

Stillage atau buangan proses distiliasi ethanol dari bubur yang telah terfermentasi dapat ditambahkan bersama air pengencer bubur pati, sekalian untuk sumber vitamin dan sebagai variasi sumber nitrogen (Borglum, 1981).

2.6 DISTILASI
Proses akhir pembuatan ethanol adalah distilasi, dimana alkohol hasil proses fermentasi yang berkonsentrasi 8%~12%v/v, dipisahkan dan dipekatkan untuk dapat dipakai sebagai bahan bakar ataupun kebutuhan lain. Distilasi adalah proses pemisahan dua atau lebih cairan dalam larutan dengan berdasarkan relative volatility-nya dan perbedaan titik didihnya. Distilasi fraksinasi merupakan pemisahan atau pengambilan uap dari setiap tingkat yang berbeda dalam kolom distilasi. Produk yang lebih berat diperoleh di bagian bawah, sedangkan yang lebih ringan akan keluar dari bagian atas kolom. Hasil distilasi alkohol berkisar 95-96%vv, pada kondisi tersebut campuran membentuk azeotrope, dimana campuran alkohol dan air sukar untuk dipisahkan. Agar diperoleh konsentrasi yang lebih tinggi dari kadar tersebut haruslah ditempuh dengan cara lain (Alico, 1982).

Residu atau sisa distilasi yang tertinggal dalam kolom bagian bawah dan masih bercampur dengan air disebut stillage. Residu tersebut masih banyak mengandung bahan-bahan organik yang tidak terfermentasikan. Jika stillage tidak dimanfaatkan sebagai hasil samping, bahan tersebut menjadi limbah yang harus ditangani lebih lanjut. Limbah tersebut mempunyai beban BOD (Biological Oxygen Demand) tinggi sampai 40.000 ppm. Beberapa metode seperti anaerobic digestion, activated sludge dan metode lain dapat dilakukan untuk mengolahnya. Namun pengolahan dengan berbagai cara tersebut perlu biaya tinggi (Alico, 1982).

Dalam proses produksi anhydrous alcohol, kondisi azeotrop harus dipecahkan dengan bahan pelarut lain, biasanya benzene, atau n-hexane kemudian alkohol dipisahkan lebih lanjut dari campurannya. Cara lain yang umum dipakai adalah desiccants process, dan molecular sieves. Pada proses desiccant, untuk mendapatkan anhydrous alcohol digunakan bahan kimia yang sifatnya stabil yang bereaksi hanya dengan air, dan tidak bereaksi dengan alkohol. Contohnya adalah kalsium oksida. Reaksi antara CaO dengan air mengeluarkan panas, sehingga perlu rancangan khusus pada kolomnya. Selain itu berbagai macam pati juga dapat dipakai sebagai dessicant.

Molecular sieves adalah kristal aluminosilikat, merupakan bahan penyaring yang tidak mengalami hidrasi maupun dehidrasi pada struktur kristalnya. Molekul penyaring ini secara selektif menyerap air, karena lubang kristalnya mempunyai ukuran lebih kecil dibanding ukuran molekul alkohol, dan lebih besar dibandingkan molekul air. Alkohol yang berbentuk cair maupun uap dilewatkan kolom yang berisi bahan penyaring, air akan tertahan dalam bahan tersebut dan akan diperoleh alkohol murni. Biasanya proses ini menggunakan dua kolom, kolom kedua untuk aliran uap alkohol sedangkan pada kolom pertama setelah proses dialirkan udara atau gas panas untuk menguapkan air (Winston dkk, 1981).

Pada industri pembuatan ethanol, juga akan diperoleh hasil lain, baik yang dapat dimanfaatkan langsung maupun harus diproses lebih lanjut. Hasil samping tersebut antara lain stillage, karbon dioksida, dan minyak fusel. Stillage dari proses distilasi jumlahnya cukup besar, yaitu 10~13 kali jumlah alkohol yang dihasilkan. Mengingat bahan yang terkandung di dalamnya, stillage dapat dimanfaatkan sebagai pupuk, makanan ternak dan biogas. Sedangkan gas karbon dioksida yang dihasilkan selama proses fermentasi biasanya diserap dan dimurnikan kemudian ditekan menjadi bentuk cair. Minyak fusel yang pada prinsipnya merupakan campuran n-amyl, n-butyl, iso-butyl, n-propyl dan iso-propyl alkohol juga asam-asam, ester maupul aldehid, dapat digunakan sebagai bahan baku kimia, bahan pelarut dan bahan bakar.

Alkohol yang digunakan sebagai bahan bakar, persyaratan mutunya lebih sederhana bila dibandingkan dengan alkohol untuk keperluan lainnya. Hal ini juga berpengaruh terhadap peralatan yang dibutuhkan, khususnya peralatan pada unit distilasi dan jumlah biaya yang diperlukan.

Perbandingan kebutuhan energi pada proses distilasi dapat dilihat pada tabel berikut ini :

0tabel2


III. PROSEDUR PROSES

3.1. BAHAN
Standar pemakaian bahan baku dan berbagai bahan lainnya untuk satu hari pengumpanan.

0tabel3

3.2 PROSEDUR PROSES
Bahan baku nira dari truck tangki (K–101) sebanyak 7500 liter ditampung ke dalam tangki penampung (T–101), kemudian dipompa ke tangki pemekat (E–101). Di dalam tangki pemekat diharapkan terjadi penguapan, agar air yang terkandung dalam nira dapat berkurang, sehingga didapatkan Total Sugar ± 13% w/v, kemudian didinginkan ke dalam tangki pendingin (T–102).

Proses seeding, yaitu proses pembiakan khamir yang dilakukan dalam Seeding Tank (D-101). Khamir Saccharomyces cereviseae (stock slant) dipindahkan ke dalam slant baru dan dibiakkan selama 48 jam, kemudian dipindahkan ke dalam active test tube dan disimpan selama 24 jam, selanjutnya dipindahkan ke flask medium dan diinkubasikan selama 24 jam, kemudian diinokulasikan ke dalam D-101. Waktu pembiakan ini sekitar 24 – 30 jam. Proses seeding harus diatur sehingga saat pengumpanan yang pertama dimasukkan dalam fermentor, biakan khamir sudah siap untuk melakukan proses fermentasi.

Fermentasi dilakukan dalam fermentor, yang jumlahnya tiga unit (D-102 A,B dan C). Nira yang telah dikentalkan (TS »15%wv) dicampur dengan hasil biakan khamir. Kemudian dilakukan aerasi selama 4 jam yang dimaksudkan untuk homogenisasi media serta untuk pertumbuhan khamir. Pengumpan ke 2 dan ke 3 dilakukan dalam selang waktu 8 jam. Suhu fermentasi dijaga ± 33 °C., hal ini ditempuh dengan cara mengalirkan air pendingin. Fermentasi dianggap selesai bila kadar alkohol dalam fermented broth sudah menunjukkan harga tetap.

Mash hasil fermentasi dengan volume ± 7500 liter, kadar alkohol 8–10%w/v, dipompa dengan P-103, untuk proses pemisahan atau pemurnian dengan distilasi. Unit distilasi terdiri dari 2 buah kolom yang disebut Mash Column (C-101) yang biasa disebut kolom pemisah dan Rectifying Column (C-102) atau kolom pemekat.

Umpan dengan kecepatan 300 liter/jam dimasukkan di bagian atas C-101 yang sebelumnya dilewatkan Preheater (E-102) untuk pemanasan awal. Sebagai media pemanas dipakai cairan panas dari bagian bawah C-101, media pemanas ini selanjutnya dibuang ke ”Lagoon” sebagai limbah buangan. Uap pemanas didapat dari boiler masuk C-101 melalui bagian bawah. Uap dari bagian atas C-101 yang sebagian besar merupakan uap alkohol dimasukkan ke C-102 bagian bawah. Pada C-102 terjadi pemekatan, uap yang keluar dari C-102 bagian atas diembunkan dalam Condensor (E-104).

Sebagian cairan embunan tersebut didehidrasi di E-105 untuk selanjutnya ditampung dalam Storage Tank (T-105). Sebagian cairan embunan yang lain dikembalikan ke bagian atas C-102 sebagai reflux, dan juga cairan yang ada dibagian bawah C-102 dikembalikan lagi ke C-101. Kadar alkohol yang dihasilkan adalah 99,5% v/v pada suhu15°C. Pada unit distilasi juga dilengkapi peralatan penyadap minyak fusel. Minyak fusel ini selain dianggap sebagai hasil samping, apabila sudah terambil dari alkohol akan menyebabkan peningkatan mutu alkohol itu sendiri.


IV. SARANA PENUNJANG PRODUKSI BIOETHANOL

Sarana penunjang produksi bioethanol yang diperlukan untuk membantu kelancaran ataupun terlaksananya operasi secara keseluruhan, meliputi kebutuhan air, udara, listrik dan uap (steam).

4.1. Air
Kebutuhan air dibagi menjadi 2 bagian, yaitu (1) air proses, yang akan habis dalam pemakaian, sebagai contoh air sebagai umpan boiler untuk dijadikan uap (steam) dan air pencuci; (2) air penunjang proses, air yang pada prinsipnya setelah dipakai dapat ditampung, kemudian setelah diperbaiki kondisinya dapat digunakan kembali.

Ketersediaan air proses dapat dipenuhi dengan 2 buah deep well (sumur dalam) yang masing-masing berkapasitas 120 liter/menit. Berikut ini Tabel kebutuhan air.

0tabel4

4.2. Udara
Kebutuhan udara disediakan oleh sebuah kompresor berkapasitas 50 NL/menit, tekanan 4 Kg/Cm2 dan temperatur 35°C. Udara dipakai untuk keperluan aerasi dan penggerak sistem alat kontrol, karena kebanyakan alat kontrol yang terpasang memakai pneumatic controller system.

4.3. Listrik
Apabila lokasi Plant Ethanol belum terjangkau oleh jaringan Perusahaan Listrik Negara (PLN), maka untuk kebutuhan listrik dipakai Generator dengan bahan bakar minyak diesel (solar). Generator yang diperlukan berjumlah 2 unit, masing-masing dengan kapasitas terpasang 25 KVA. Dalam keadaan pilot plant beroperasi, jumlah total listrik yang diperlukan berkisar antara 870–900 KW/hari, dengan kebutuhan bahan bakar solar ± 80 liter/hari.

4.4. Uap Air (Steam)
Uap Air (steam) diperlukan terutama pada proses sterilisasi media pembiakan, proses distilasi dan secara berkala untuk pembersihan saluran pipa. Kebutuhan uap ini dibangkitkan oleh sebuah boiler dengan kapasitas terpasang 500 kg/jam, tekanan 7 Kg/Cm2, temperatur 150°C dan menggunakan bahan bakar biomasa.

0tabel5

V. ANALISIS FINANSIAL

1. Biaya Investasi
Kebutuhan biaya pengadaan peralatan produksi yang utama untuk proses pembuatan fuel grade ethanol (FGE) dari nira aren, kelapa maupun nipa untuk skala 600 liter per hari adalah sebesar Rp.1.744.500.000. Sedangkan kebutuhan biaya untuk kontruksi bangunan, peralatan dan sarana penunjang mencapai Rp.1.700.000.000. Dengan demikian total budget investasi untuk satu unit industri bioetanol dengan skala 600 liter per hari adalah Rp.3.444.500.000.

2. Biaya Produksi dan Depresiasi
Perhitungan biaya produksi didasarkan pada kapasitas produksi per tahun dengan asumsi 8 jam kerja/hari dan jumlah hari kerja efektif 312 hari dengan total produksi bioetanol 187.200 liter per tahun. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan untuk komponen pembelian bahan baku nira, khamir, bahan bakar, transportasi, tenaga kerja, perawatan, listrik, distribusi, pajak dan penyusutan diperoleh total biaya produksi sebesar Rp.1.239.093.667 per tahun.

3. Nilai Produksi, Kelayakan Usaha dan Strategi Pemasaran

Berdasarkan hasil analisis kelayakan usaha, diperoleh bahwa untuk mencapai nilai IRR yang berada diatas bunga kredit bank, nilai NPV dan Net B/C ratio yang berada diatas satu serta nilai Pb Period yang tidak terlampau lama, maka harga jual bioetanol berada pada kisaran minimal Rp.12.500 per liter. Dengan harga jual tersebut, maka investasi dibidang produksi bioetanol yang berbahan baku nira aren, kelapa dan lontar dengan skala 600 liter per hari dinyatakan sangat layak karena nilai IRR-nya 22 %, nilai NPV 1.545.673.519, Net B/C ratio 1.48 dan Pb Period 38 bulan. Harga jual bioetanol sebesar tersebut, dibandingkan dengan harga jual bensin di tingkat SPBU yang hanya mencapai Rp.4.500 per liter (harga subsidi) maka dapat dikatakan bahwa harga bioetnol tergolong sangat mahal.

Untuk itu, maka dalam rangka menghemat sumber energi fosil, menghemat devisa negara dan mengurangi polusi lingkungan, terutama lingkungan udara, maka pemakaian bioetanol saat ini belum dapat dilakukan secara 100 % atau tanpa pencampuran dengan besin dari bahan baku fosil. Disini pemanfaatan bioetanol sebagai energi alternatif masih dibutuhkan strategi pemasaran, dan yang sangat dimungkinkan adalah mencampurkan bietanol dengan besin pada perbandingan 1 atau 2 % berbanding 98 atau 99 %. Jika diputuskan 1 % bioetanol dicampurkan dengan 99 % bensin, maka harga jual bensin yang mengandung 1 % bioetanol hanya sebesar Rp.4.650 per liter. Dengan strategi pemasaran seperti tersebut, total pendapatan bersih yang diperoleh selama 10 tahun usaha untuk satu perusahaan bioetanol yang berskala 600 liter per hari adalah sebesar Rp.8.67 miliar.

DAFTAR PUSTAKA
Alico, D.H., ”Alcohol Fuels: Policies, Production and Potential”, West view Press (Boulder), Colorado, 1982, 1-19; 37-80.
Anonymous a, ”Basic Design Survey Report on Biomass Energy Research and Development Center in The Republic of Indonesia”, Japan International Cooperation Agency, GRB. CR (2) 81-05, 1981.
Anonymous b, ”Fuel Ethanol from Agricultural Crops – a Review”, NOVO Industri A/S, B 237-GB 1000, Denmark, June 1981.
Anonymous c, ”NOVO Enzymes in the Production of Ethanol from Starch Containing Crops”, NOVO Industri A/S, cIB 238c-GB, June 1981.
Borglum G.B., ”Starch Hydrolysis for Ethanol Production”, D.L. Klass dan G.H. Emert, Edit. ”Fuel from Biomass and Waste”. Ch. 15, Ann Arbor Science, Michigan, 1981, p 297-310.
Crueger, W. dan A. Crueger, ”Biotechnology a Textbook of Industrial Microbioloy”, Ch.7; 11, Science Tech, Inc., Madison 1984, 104-110; 161-186.
Hodge, H.M. dan F.M. Hildebrandt, ”Alcoholic Fermentation of Molasses”, L.A. Underkofler dan R.J. Hickey, Edit. ”Industrial Fermentation”, Vol. I, Chemical Publishing Co., New York, 1954.
Katzen, R., W.R. Ackley, G.D. Moon Jr., J.R. Messick, B.F. Brush dan K.F. Kaupisch. ”Low Energy Distillation System”, D.L. Klass dan G.H. Emert. ”Fuel from Biomas and Wastes”. Ch. 21. Ann Arbor Science, Michigan, 1981, p 393-402.
Kosaric, N., Z. Duvnja, dan G.G. Stewart, ”Fuel Ethanol from Biomass: Production, Economics and Energy”, Biotech. Bioeng.,__, 1981, p 119-151.
Maiorella, B., Ch. R. Wilke, dan H.W. Blanch, ”Alcohol Production and Recovery”, Biotech. Bioeng., __, 1981, p 44-88.
Scott, C.D., ”Ethanol Production in a Fluidized-Bed Bioreactor Utilizing Flocculating Zymomonas mobilis with Biomass Recycle”, Biotech. Bioeng. Symp. 13, 1983, p 287-298.
Wittcoff, H.A. dan B.G. Reuben, ”Industrial Organic Chemicals in Perspective”, Part One, ”Raw Materials and Manufacture”, John Wiley & Sons, New York, 1980, p 31-126.
Dalibard, Christophe , The Potential of Tapping Palm Trees for Animal Production.

Sumber : http://arenindonesia.wordpress.com/makalah-aren/l-ega-dan-bambang-triwiyono-dkk/