....Selamat untuk anakku Alifia Qurata Ayun wisuda Sarjana Farmasi.....

Selasa, 06 Oktober 2009

INDONESIAN PALM SUGAR IN CORPORATED (IPSIC)

INDONESIAN PALM SUGAR IN CORPORATED (IPSIC)

Oleh : Dian Kusumanto


Pendahuluan

Indonesian Palm Sugar In Corporated (IPSIC) adalah suatu wadah bersama tempat memperjuangkan majunya industri gula palem Indonesia ke pentas dunia. Perajin-perajn gula yang didukung oleh para investor dalam permodalannya dan yang akan dibimbing secara sinergis oleh manajemen pengelolaan yang didukung oleh teknologi, sistem peralatan dan kemitraan yang memiliki nilai tambah yang mengagumkan.

IPSIC secara idealisme akan berjuang menjadikan gula rakyat Indonesia bermartabat di tengah-tengah trend pasar gula dunia yang akan mengarah kepada produk yang aman, bagus untuk kesehatan dan tidak tercemar oleh racun-racun kimia di dalam proses produksinya. Trend produk yang pure organik dari hulu (cara budidayanya) sampai hilir (pengolahan dan kemasannya) akan menjadi branding yang kuat dimasa yang akan datang.

Latar Belakang
- Industri gula rakyat masih tradisional dan belum berkembang.
- Produk gula rakyat bermutu rendah, dihargai murah dan belum mampu bersaing di pasar global.
- Bahan bakar semakin langka dan cenderung merusak lingkungan, proses pengolahan tekesan boros bahan bakar, dan penggunaan tenaga yang tidak efisien (terlalu banyak).
- Gula Palem (Palma) memiliki nilai gizi paling unggul untuk kenikmatan dan aspek kesehatan manusia. Lebih unggul dibandingkan gula dari non Palma seperti dari Tebu, pohon Maple, Jagung, Singkong, tanaman Bit, dll.
- Perajin gula rakyat masih susah dan sengsara, belum sejahtera meskipun volume kerja merka sangat tinggi, nilai hasil kerja dan hasil jerih payah mereka belum sebanding dengan resiko dan beban kerjanya.

Tujuan
- Melakukan perbaikan sistem usaha gula rakyat yang memadukan antara teknologi, pemberdayaan masyarakat, peningkatan kesejahteraan dan jaminan sosial ekonomi para pelaku usaha.
- Penciptaan pemberdayaan dengan pola kemitraan yang adil dan saling menguntungkan.
- Menciptakan produk-produk gula rakyat Indonesia yang bermutu tinggi, berdaya saing tinggi, bercitra tinggi, bergengsi, sebagai produk yang bermartabat di pasar global.

Pola Kemitraan

Ada 3 pihak yang akan terlibat dalam kemitraan yang bertajuk Indonesian Palm Sugar In Corporated (IPSIC), yaitu :
1. Para Perajin Gula
2. Para Investor
3. Pengelola IPSIC.

Pembagian peran dalam kemitraan ini adalah digambarkan dalam diagram sebagai berkut :




PROSPEK BISNIS

Asumsi skala usaha :
60 ton gula merah per bulan > 720 ton per tahun atau 2 ton per hari.

Nilai investasi alat unit pengolahan dan sistem IPSIC :
- Alat Rp 1,6 M
- Operasonal Rp 0,4 M
Jumlah Rp 2,0 M


Stake Holder :

- Investor : nilai saham Rp 100.000 per saham
Jumlah saham : 20.000 lembar saham

- Perajin Gula Jika diasumsikan setiap perajin mampu menghasilkan nira dengan konversi ke Gula = 40 kg per hari, maka untuk mencapai produksi 2.000 kg/hari diperlukan 50 orang perajin.


Proyeksi Usaha

- Cara Tradisional :
Produksi 2 ton/hari x Rp 5.000/kg = Rp 10 juta/hari

- Cara Modern (dengan perbaikan teknologi, peningkatan mutu yang standard ekspor, dengan pengemasan yang baik dan menarik serta menurunnya biaya produksi dan pengolahan , adanya tambahan produk sampingan, maka proyeksinya sebagai berikut :
a. Produksi 2 ton/hari x Rp 13.000/kg = Rp 26 juta/hari
Dan nilai tambah yang berasal dari :
b. Penghematan Bahan Bakar : 50 % dari 40 ton = 20 ton =(5 truk) @ Rp 400.000 = Rp 2 juta / hari
c. Produk Arang : 25% x 20 ton /hari = 5 ton Arang, jika
@ Rp 1000/kg maka = Rp 5 juta/hari
d. Asap Cair : 25% x 20 ton /hari = 5 ton Asap Cair / hari, jika @ Rp 5.000/kg, maka = Rp 25 juta/hari

Dengan hitungan yang (a) saja sudah bisa memberikan nilai tambah 2,6 kali lipat atau 260 %. Kalau nilai tambah dari point (b), (c) dan (d) dihitung yaitu nilai tambahnya Rp 32 juta/ hari, maka jumlah (a) sampai (d) = Rp 58 juta/hari atau 5,8 kali lipatnya.

Jika diasumsikan ada peningkatan sekitar 250 % atau 2,5 kali lipat saja, maka ada niali tambah sebesar 150 % atau 1,5 kali lipat.


Perhitungan nilai tambah bulanan dan tahunan

- Tradisional : Rp 10 juta/hari---Rp 300 juta/bulan-----Rp 3,6 M/tahun
- IPSIC : Rp 25 juta/hari---Rp 750 juta/bulan-----Rp 9 M/tahun

Ada nilai tambah ................. Rp 450 juta/bulan-----Rp 5,4 M/tahun


Pembagian Nilai Tambah kepada para Stake Holder dan Program Pengembangan dengan proporsi pembagian SHU (sisa hasil usaha) atau nilai tambah sebagai berikut :


Sasaran Nilai Tambah



Jika yang dipilih adalah proporsi Pro Future 3, yaitu masing-masing 25 %, maka perhitungan nilai tambah yang akan diperoleh oleh masing-masing sasaran adalah sebagai berikut :

25 % dari Nilai Tambah : 25 % x Rp 450 juta/bulan = Rp 112,5 juta/ bulan
= Rp 1,325 M/tahun

SASARAN NILAI TAMBAH DENGAN PROPORSI PRO FUTURE 3

Sasaran Nilai Tambah




PROSPEK PENGEMBANGAN

Pada skema IPSIC ini adalah 25 % nilai tambah diarahkan untuk beberapa jenis pengembangan, antara lain :

1. Riset
2. Pengembangan kapasitas produksi
3. Jaminan kesejahteraan sosial
4. Sosial corporate responsiblity (SCR)

Untuk tahap awal diarahkan kepada :

1. Para perajin
2. Pengembangan perajin di luar sistem
3. Riset pasar yang lebih luas : Pasar ekspor dan produk yang very excelent
4. Branding development dari gula merah organik.untuk meraih seluruh perajin gula merah (rakyat) di tanah air untuk bergabung.

Dengan demikian pembangunan jaringan dari semua yang terlibat ini akan semakin kuat, sehat dan sangat diperhitungkan dunia.
IPSIC bisa menjadi semacam jaringan MLM dalam pemasaran produknya, atau menggunakan sistem frenchise dalam pengembangan bisnisnya.

Pola Pengembangan Cabang-cabang di seluruh wilayah Indonesia tentu akan cepat sekali berkembang. Pengembangan ini harus terus dikontrol, antara lain dengan cara :
a. Patent Teknologi pengolahannya
b. Sertifikasi produk dengan Branding yang kuat
c. Penguasaan jaring pemasaran yang terjaga
d. Sistem komunikasi dan pembinaan jaringan yang menciptakan kondisi anggota semakin setia dan ikut menjaga bisnis ini.

Adapun indikator atau ukuran dalam menentukan perlunya dibuka cabang atau perwakilan adalah sebagai berikut :
a. Volume / kapasitas produksi
b. Jumlah perajin yang terlibat
c. Wilayah yang eksklusif.
d. Jagkauan handlingnya
e. Adanya rekomendasi dari mitra


MANAJEMEN PENGELOLAAN USAHA

Unit Produksi :
- Proses pengumpulan nira
- Sistem perlakuan nira pretreatment & Storage
- Sistem penyiapan bahan bakar
- Sistem pengolahan bahan bakar
- Sistem pengolahan nira menjadi gula
- Sistem pengemasan dan penggudangan
- Sistem pemeliharaan peralatan
- Sistem pengelolaan produk samping : arang dan asap cair

Unit Pemasaran dan Pengembangan Pasar.
- Riset pasar dan promosi
- Sistem tranfortasi dan delivery/ order (do)
- Sistem penggudangan
- Sistem keagenan dan out let
- Direct Selling dan Canvassing
- On line marketing

Unit SDM, Administrasi dan keuangan
- Sistem data dan laporan
- Humas dan Korespondasi
- Kesejahteraan
- Sosial malfore
- Finansial
- Pemeliharaan perajin (baru dan lama)


RENCANA TAHAP PENGEMBANGAN/ REPLIKASI USAHA

A. Tahap Pemantaban : Bulan 1 s/d ke 6

B. Tahap Pengembangan I - Jatim
I. Bulan ke 7 s/d 12 – 120 ton/ bulan
II Bulan ke 13 s/d 18 – 180 ton/ bulan
III. Bulan ke 19 s/d 24 – 240 ton/ bulan

C. Tahap Pengembangan Lanjutan
I. Pembukaan Kebun Baru
– Perkebunan/ Estate

II. Pembukaan Pruduk Baru
- Industri pengolahan

III. Pembukaan Jenis Usaha Baru
– Devisi alat/ Mesin

IV. Pembukaan Wilayah-wilayah Baru
– NTT/ NTB
- Sulawesi
- Jawa Tengah/ Jawa Barat
- Kalimantan

Indonesia Palm Sugar In corporation
- PT. IPSIC
- PT. IPSIC Tbk.

Proyeksi Pengembangan Usaha terhadap Nilai Tambah, Jumlah Nira yang diperlukan, Kapasitas Alat Pengolahan dan Produk Gula yag dihasilkan.

Kamis, 03 September 2009

MENUJU BUDAYA INDUSTRI GULA RAKYAT YANG ADIL, MAJU, BERMARTABAT DAN MENSEJAHTERAKAN






MENUJU BUDAYA INDUSTRI GULA RAKYAT YANG ADIL, MAJU, BERMARTABAT DAN MENSEJAHTERAKAN

Oleh : Dian Kusumanto


Pekerjaan utama seorang perajin gula kelapa adalah memanjat pohon, menyadap mayang kelapa dan menampung air nira dan mengolahnya menjadi gula. Kalau diamati, kegiatan yang saling berbahaya dan beresiko tinggi adalah memanjat pohon kelapa. Dalam sehari rata-rata para perajin memanjat 50 pohon kelapa bahkan ada yang sampai 100 pohon kelapa setiap hari 2 kali pagi dan sore. Misalnya sekali saja dia terjatuh, maka bisa jadi dia tidak bisa lagi memanjat seterusnya. Kelapa yang dipanjat rata-rata sudah sangat tinggi diatas 10 meteran. Resiko yang paling fatal adalah meninggal dunia atau cacat seumur hidup.

Selama ini para perajin belum ada yang dilindungi atau dijamin oleh asuransi. Juragan gula tidak terkait dengan resiko yang dialami oleh para perajin. Juragan gula hanya tahunya membayar jika dia setor gula. Sejak dulu hingga sekarang belum ada perusahaan penampung yang mengasuransikan para pekerjanya ini.

Apalagi jaminan biaya kesehatan bagi keluarganya tentu juga tidak ada. Apabila ada keluarga yang sakit dan perajin dituntut untuk terus memanjat pohon dengan kondisi psikologis sedang merasakan kesedihannya tentu resiko kecelakaan bisa lebih tinggi. Dari sisi ini terlihat bahwa para perajin belum bisa dikatakan sejahtera dan terjamin kehidupan sosialnya.

Hal ini memang tidak mudah untuk merubah tatanan yang sudah ada secara turun menurun. Tatanan sosial pada kerja seperti ini layaknya pola-pola jaman kolonialisme dulu. Dulu jaman tanam paksa, jaman kerja paksa tapi yang sekarang ini jaman terpaksa kerja karena kalau tidak kerja keluarga tidak makan.
Struktur perekonomian seperti ini sebenarnya berpola imperialis, kapitalis yang merupakan praktek-praktek kaum neoliberalisme. Tapi sepertinya hal ini tidak disadari karena dianggap sudah benar,”sudah adil”, padahal ini tidak manusiawi. Kenapa dikatakan tidak manusiawi.
Sebenarnya para perajin ini adalah tulang punggung utama sistem industri gula rakyat. Kalau tidak ada kerja keras dan sangat beresiko dari mereka, sistem ini tidak jalan. Namun jerih payahnya belum sebanding dengan nilai ekonomi yang diperolehnya. Dia sudah menjamin sistem ini tetap berjalan, tetapi dia sendiri tidak terjamin keselamatannya, kesehatan, kesejahteraannya.

Para pihak yang menjalankan sistem ini seolah tidak mau peduli dengan ketidak adilan ini, yang penting usaha tetap lancar karena mereka tetap terpaksa bekerja. Jadi energi mereka sebenarnya karena keterpaksaan keadaan. Semangat kerja mereka karena keterpaksaan untuk tetap menghidupi keluarganya, meskipun dengan resiko yang sangat tidak seimbang dengan imbalannya.

Apabila kita melihat kehidupan para perajin dan tingkat penghasilanya sebenarnya bisa kita tingkatkan. Pola sistem usaha yang selama ini berlaku pun kalua kita mau bisa juga kita rubah. Sistem yang selama ini terasa penuh keterpaksaan, bisa kita buat menjadi sistem kerja yang sangat menyenangkan dan membanggakan. Chimistery usaha gula kelapa ini memang harus berubah dengan kondisi usaha yang penuh rasa saling memerlukan, saling menghargai dan saling percaya. Hal ini tejadi karena beberapa hal :

1) Mutu gula kelapa rendah
2) Akibatnya harga gula juga murah
3) Biaya bahan bakar mahal dan semakin mahal
4) Pasar gula kelapa masih sangat terbatas dan belum bersaing
5) Peralatan mengolah gula masih sangat sederhana/ tradisional
6) Masih sering terjadi kecurangan dan kekurangterbukaan di dalam sistem
7) Masih ada perasaan saling tidak adil, saling mencurangi, merasa dirugikan satu sama lain
8) Terjadinya persaingan yang tidak sehat diantara para pedagang gula, mereka memang tidak bersatu atau disatukan, mereka bekerja sendiri-sendiri
9) Tidak adanya regulasi yang ketat yang melindungi sistem usaha ini,
10) Dll

Lalu siapa saja yang masuk dalam industri gula kelapa rakyat ini .
1) Pemilik pohon
2) Perajin gula (pemanjat dan pengolah)
3) Pedagang pengepul
4) Pedagang besar
5) Pasar/ pabrik

Dalam sistem industri gula kelapa rakyat terdiri dari banyak sub sistem yang terkait, yaitu :

1) Pohon kelapa dan produktifitas nira dari setiap pohon
2) Sub sistem penyadapan
3) Sub sistem penampungan nira di atas pohon
4) Sub sistem penampungan nira di bawah pohon
5) Sub sistem pengolahan yang meliputi :
 Teknologi pengolahan
 Sub sistem tungku
 Sub sistem bahan bakar
 Sub sistem alat cetak gula
 Sub sistem pengemasan
 Sub sistem pengangkutan nira
6) Sub sistem pemasaran.
 Mutu gula
 Kemasan gula 
 Harga gula
 Volume gula
 Pengangkutan gula
 Penyimpanan gula
 Segmentasi pasar

Oleh karena itu, dalam merubah insustri gula ini menuju industri gula rakyat yang mensejahterakan, yang memberi martabat seluruh sistem terkait, maka harus mempertimbangkan beberapa hal :

1) Suasana kebersamaan dan saling menghormati
2) Sikap saling percaya, amanah, dan kejujuran
3) Saling menyayangi dan saling membantu
4) Menciptakan misi dan visi bersama
5) Menjaga mutu produk dan postise kerja
6) Penghargaan terhadap hasil kerja yang bagus
7) Keterbukaan dan keadilan
8) Menjunjung inovasi-inovasi baru guna efisiensi usaha dan penguatan daya saring produk bersama
9) Saling mengingatkan secara yang terhormat
10) Kebersamaan dalam menghadapi globalisasi dan persaingan dari luar.


Bisa dikatakan ini harus dimulai dengan budaya kinerja yang smart, yang cerdas, unggul, bermartabat dan mulia. Kerja ini semua adalah bagian dari ibadah, untuk kemaslahatan bersama, untuk mencari nafkah keluarga dengan rezki yang halal, untuk menghasilkan produk yang bermutu tinggi bagi konsumen. Harus ditanamkan suatu anggapan bahwa konsumen juga agar menghargai produk gula kelapa kita sebanding dengan citra yang dibangun.

Perubahan budaya industri gula kelapa rakyat ini sangat mungkin untuk dilakukan. Peluang itu sesungguhnya sangat terbuka.
Ada beberapa skenario yang bisa menjadi alternatif perubahan budaya industri gula kelapa rakyat menjadi lebih baik. Salah satu skenario akan dipaparkan dibawah ini.

Pertama. Penerapan teknologi baru yang smart.  
Prinsipnya adalah sebagai berikut :

1) Hemat bahan bakar
2) Mutu gula bisa diatur/ ditingkatkan
3) Pemasakan nira dengan suhu rendah
4) Kapasitas evaporasi dipercepat
5) Indikator-indikator mutu diukur sesuai standard
6) Nilai tambah/ side produk dari hasil pengolahan/ pembakaran, yaitu menjadi arang/ briket arang dan asap cair.
7) Hemat tenaga/ mudah pengoperasianya/ pemeliharaannya
8) Sistem pengemasan dan penyimpanan yang menarik dan dapat mempertahankan mutu/ penampilan pruduk.

Kedua. Penerapan sistem kemitraan yang berkeadilaan.
Prinsip-prinsip yang diterapkan adalah sebagai berikut:
1) Standard mutu terukur dengan indikator yang jelas dan disepakati bersama
2) Penerapan sistem bagi hasil berdasarkan kesepakatan bersama 
3) Ada sistem reward/ komisi jika good prestasi dan ada punishment/ sanksi/ denda jika wan prestasi.
4) Ada pertemuan formal dan silahturahmi informal untuk kesempatan sharing mengatasi masalah/ kendala yang berkembang.

Ketiga. Pembangunan karakter (character building)
1) Pembinaan rohani, jasmani yang melibatkan keluarga
2) Jaminan kesehatan, keselamatan kerja, seluruh stake holder dan keluarganya
3) Jaminan sosial, pendidikan anak (keluarga), jaminan kesejahteraan jasmani dan rohani
4) Peningkatan profesionalisme dan mutu kehidupan
5) Refresing/ rekreasi
6) Pendidikan dan pelatihan teknis dan manajemen.

(.......................Insya Allah ada sambungannya)

Kamis, 06 Agustus 2009

Spray Evaporator untuk pengolah Nira menjadi Gula Cair


Spray Evaporator untuk pengolah Nira menjadi Gula Cair

by : dian k


MERANCANG PERMINTAAN GULA KELAPA SEMUT ORGANIK (COCONUT BROWN SUGAR ORGANIC) DARI PT BENING BIG TREE FARM BALI






MERANCANG PERMINTAAN GULA KELAPA SEMUT ORGANIK (COCONUT BROWN SUGAR ORGANIC) DARI PT BENING BIG TREE FARM BALI  

Oleh : Dian Kusumanto

Pada akhir Juli 2009 yang lalu saya mendapat telpon dari Ibu Wahyu Sriningsih dari PT Bening Big Tree Farm (BBTF). Ibu Wahyu ini mengatakan bahwa perusahaannya bergerak di bidang sertifikasi produk organik dan sekaligus sebagai penampung dan pengekspor produk-produk organik ke Amerika Serikat. Produk-produk organik yang sudah ditangani ada beberapa macam antara lain adalah Gula Kelapa Serbuk (Coconut Brown Sugar). Beliau juga menyampaikan target permintaan dari pembelinya di Amerika Serikat untuk Coconut Brown Sugar sekarang ini sebenarnya sekitar 60 ton per bulan. Namun yang baru bisa dipenuhi adalah 12 ton, yang berasal dari petan binaannya yang ada di Jogja dan sekitarnya.

Kepada saya meminta informasi tentang sumber-sumber atau sentra-sentra produksi gula kelapa rakyat yang bisa diarahkan atau dibina menuju produksi gula kelapa serbuk organik sesuai permintaan pasar yang ada di Amerika Serikat. Saya belum bisa memberikan data pasti, kecuali beberapa gambaran yang belum detail tentang sumber atau sentra produksi gula kelapa ini. Kalau untuk merubah dari yang tradisional menuju gula kelapa organik standard ekspor, saya mengira hal in tidak terlampau sulit apalagi jika tawaran harganya juga cukup menggairahkan.

Saya kemudian terbayang kepada para perajin Gula Kelapa yang ada di Kabupaten Banyuwangi, Jember, Blitar, Banyumas, Cilacap, dll. yang selama ini masih belum terakses dengan pasar di luar negeri. Mutu produk mereka sejak jaman dulu kala masih seperti itu itu saja. Tidak ada perkembangan dan perubahan yang lebih baik, tidak ada merek, apalagi sertifikasi produk organik. Jaminan mutu atau kualitas produk belum ada, namun herannya konsumen juga masih terus menggunakan produk tradisional ini. Hal ini karena harganya terjangkau alias murah Akibatnya adalah nasib para perajin juga masih biasa-biasa saja, belum terangkat menjadi lebih baik.  


Dalam tulisan yang lalu pernah saya uraikan tentang rancangan yang barangkali bisa memperbaiki nasib mereka dengan suatu pola baru. Suatu pola baru itu memasukkan unsur teknologi tungku dalam penghematan bahan bakar dan tenaga kerja, perbaikan mutu produk gula dan menambah produk-produk samping bernilai tambah tinggi seperti arang dan asap cair. Selain itu pola baru yang saya rancang itu juga memperbaiki sistem kelembagaan atau organisasi usaha dengan berkelompok atau berkooperasi dengan pola hubungan antar pelaku yang lebih adil. Alhasil dengan pola baru nanti beberapa nilai tambah itu akan diperoleh bagi seluruh pelaku usaha gula kelapa rakyat ini, yang muaranya adalah perbaikan pendapatan dan kesejahteraan seluruh pelaku usaha secara adil.

Kemudian otak saya berputar, bahwa tawaran dan informasi ini kiranya adalah merupakan sambutan positif dari konsep yang pernah saya tulis dulu. Dan memang Ibu Wahyu ini tertarik setelah membaca tulisan saya itu yang diposting di http://kebun-kelapa.blogspot.com. Setelah beberapa hari mengendap barulah saya mencoba menghitug-hitungnya dan menulis artikel ini. Saya berharap artikel ini bisa menggugah para perajin yang ingin merubah mind set produknya dari yang tradisional menuju pasar ekspor, minimal dapat memenuhi pasar yang sudah dirintis oleh PT Bening Big Tree Farm ini.  

Angka 60 ton per bulan itu sudah sangat menantang. Jika dihitung per hari berarti 2 ton atau 2.000 kg per hari. Berapa banyak petani perajin untuk dapat memenuhi angka ini? Hitungan yang saya ambil dari tingkat lapangan di Desa Pondok Nongko Kecamatan Kabat Banyuwangi adalah sebagai berikut :

a). Setiap perajin biasanya mengelola antara 50 - 60 pohon kelapa, masing-masing memiliki unit pengolahan yang berupa tungku dan peralatan lainnya.
b). Produksi gula cetak berkisar antara 25 – 40 kg per hari per perajin dengan 1 unit tungku pengolah gula.
c). Setoran gula kepada pemilik kebun kelapa adalah 1 ons per pohon per hari kalau 50-60 pohon berarti sekitar 5 - 6 kg /hai per perajin.
d). Harga jual di tingkat pengepul Rp 5.000/kg
e). Kebutuhan kayu bakar 1 truk dengan harga Rp 375.000/ truk digunakan untuk 10-15 hari.
f). Tenaga kerja yang digunakan biasanya : 1 - 2 orang sebagai pemanjat dan 1 orang yang memasak dan mencetak gula (biasanya keluarga sendiri).
g). Masing-masing perajin sudah terikat kontrak pembelian dengan para pengepul Gula, bahkan para perajin sudah hutang alias bon uang atau barang kepada pengepul atau juragan gula.
h). Selain melakukan pemanjatan, sepanjang hari kerja mereka di rumah gubuk atau pondok kecil beratap daun atau genteng yang didirikan ditengah, dipinggir atau di dekat kebun kelapa yang disadap niranya. Pondok ini digunakan sebagai rumah tungku dan tempat beristirahat sekaligus untuk mengolah, mencetak dan menyimpan gula sebelum disetor ke pengepul.

Dari gambaran di atas dapat dihitung, bahwa untuk target 2.000 kg sehari atau 60 ton per bulan, dapat diperoleh dari antara 50 – 80 perajin. Kalau misalnya setiap 10 orang perajin dibentuk 1 (satu) kelompok, maka akan dibentuk antara 5 – 8 kelompok. Setiap kelompok nanti diharapkan akan dapat menghasilkan gula antara 250 – 400 kg per hari. Jadi kalau setiap kelompok itu alat pengolahannya disatukan, maka setiap kelompok memerlukan alat pengolah gula dengan kapasitas 250 – 400 kg Gula per hari, yang berasal dari nira kelapa sekitar 1.250 – 2.000 liter per hari, atau yang disadap dari pohon kelapa sebanyak antara 500 – 600 pohon.

Kenapa satu kelompok itu terdiri dari 10 orang, karena kalau terlalu banyak agak susah kita mengaturnya, terutama kalau pola menejemen diserahkan kepada salah satu diantara para perajin atau orang luar yang dipilih mereka. Kadang-kadang ini yang agak sulit, karena selama ini mereka saling bersaing. Akan lebih bagus bila menejemen korporasi ini dikelola langsung oleh pihak ketiga yang bisa dianggap adil oleh mereka. Sebaliknya kalau terlalu sedikit anggota kelmpoknya nanti kapasitas alat dan mesin pengolah telalu kecil, maka kurang efisien. Angka ini juga tidak patokan kaku, tapi bisa disesuaikan dengan pertimbangan-pertimbangan lainnya, terutama kapasitas alatnya.

Lalu apa yang menarik dari tawaran dari Ibu Wahyu ini. Tidak lain adalah bahwa produk Gula Kelapa kita akan menerobos pasar Amerika dengan jaminan setifikasi dari BBTF. Kemudian produk Gula kita akan mempunyai merek dan sekaligus patent sebagai syarat jaminan mutu. Jumlah 60 ton per bulan memang tidak terlalu besar bagi potensi produksi Gula rakyat yang ada di Indonesia. Tap bukankah untuk mencapai yang besar kita memulai dari yang kecil dulu. Tapi bagi sesuatu yang baru angka 60 ton ini cukup besar juga, karena akan melibatkan ratusan orang yang selama ini pola usahanya masih individual dan tidak pernah berorganisasi secara rapi. Ini merupakan pembelajaran sekaligus tantangan yang sebenarnya juga cukup rumit. 

Sekilas cerita melalui telpon dari Ibu Wahyu seolah menyiratkan sulitnya mengelola petani yang ada di Jogjakarta, yang sekarang baru mencapai produk 12 ton per bulan. Seolah-olah seperti sulitnya menjinakkan hewan yang biasanya liar dari hutan yang kemudian harus terkurung dalam sangkar sistem yang penuh aturan dan perjanjian-perjanjian. Biasanya memang ada saja yang bersikap kontra produktif dengan sistem baru yang sedang dibangun itu. Sebenarnya pihak BBTF akan lebih senang jika ada pihak yang dapat mengelola korporasi ini secara mandiri, namun tetap masih dalam aturan sistem yang disepakati bersama, sehingga pihak BBTF akan bisa mengembangkan pada pasar yang lebih luas dengan kuota yang lebih besar lagi.

Lalu berapa sih nilai harga Gula Kelapa Serbuk Organik yang diterima pihak BBTF? Harga yang kemarin dibuka adalah Rp 13.000 per kg. Jadi kalau kuota 60 ton per bulan bisa dipenuhi, artinya ada potensi devisa sebesar Rp 780 juta per bulan. Kalau korporasi dengan peran dan jasanya memungut Rp 1.500 per kg Gula dari para perajin, maka korporasi akan berpotensi mendapatkan pemasukan sekitar Rp 90 juta per bulan. Para perajin yang tegabung akan mendapatkan Rp 11.500 per kg Gula atau seluruhnya berjumlah Rp 690 juta per bulan. Kalau jumlah perajin yang terlibat sebanyak 50-80 orang, maka setiap orang berpotensi mendapatkan hasil penjualan Gula sebesar rata-rata antara Rp 8.625.000 sampai Rp 13 juta per bulan atau antara Rp 287.500 sampai Rp 433.333 per orang per hari.  

Atau kalau proporsi ini dikembangkan dengan beberapa alternatif dapat banyak pilihan pola proporsi harga sekaligus nilai pendapatan antar pelaku usaga Gula Kelapa Serbuk Organik ini. Beberapa alternatif itu adalah sebagai berikut :

No.---Harga BBTF---Jasa Korp. ---Laba (Rp/kg) --Laba (Rp /60 ton/bln) ----per petani
 ------(Rp/kg) -------(Rp/kg) -----Korporasi-------Korporasi--Petani---------(Rp/bln) .

1. -----13.000 --------12.000 -----1.000 ---------60 juta -----720 juta -------9.0 - 14,4 jt
2. -----13.000 --------11.500 -----1.500 ---------90 juta -----690 juta -------8,6 – 13,0 jt
3. -----13.000 --------11.000 -----2.000 ------- 120 juta -----660 juta -------8,2 - 13,2 jt
4. -----13.000 --------10.500 -----2.500 --------150 juta -----630 juta -------7,8 - 12,6 jt
5.----- 13.000 --------10.000 -----3.000 --------180 juta -----600 juta -------7,5 - 12,0 jt
6. -----13.000 ---------9.500 ------3.500 --------210 juta -----570 juta -------7,2 - 11,4 jt
7. -----13.000 ---------9.000 ------4.000 --------240 juta -----540 juta -------6,9 - 10,8 jt
8. -----13.000 ---------8.500 ------4.500 --------270 juta -----510 juta --------6.6 - 10.2 jt
9. -----13.000 ---------8.000 ------5.000 --------300 juta -----480 juta -------6.3 - 9.6 jt

Sebenarnya pada tingkat harga Rp 9.000 per kg saja petani perajin sudah dapat menikmati hasil yang lebih baik dari pada sekarang ini. Kalau dulu harga Gula Kelapa Cetak hanya senilai Rp 5.000 /kg saja. Memang dengan diolah menjadi Gula Semut dengan kadar air yang lebih sedikit maka ada pengurangan hasil gula sekitar 10 %, namun disisi lain ada peningkatan harga. Kalau dibandingkan antara Gula Semut dengan Gula Cetak maka ada kenaikan sebesar (Rp 9.000 x 90%) – Rp 5.000 = Rp 3.100 per kg Gula Cetak. Artinya kalau misalnya biasanya petani menghasilkan 30 kg Gula Cetak dengan perolehan kotor Rp 150.000, maka ada penambahan menjadi Rp 243.000 per hari atau Rp 7,290.000 per bulan.  

Belum lagi ada keuntungan-keuntungan lain karena sudah dikelola oleh korporasi seperti :
1. Tenaga pengolahan tidak ada lagi
2. Ongkos pembelian bahan bakar
3. Biaya operasional pemasaran produk
4. Pemeliharaan peralatan,
5. dll. 

Para perajin yang tergabung dalam korporasi bisa jadi mendapatkan penawaran-penawaran khusus yang dinikmati misalnya :
1. Asuransi keselamatan kerja
2. Asuransi kesehatan bagi keluarga
3. Jaminan hari tua
4. Asuransi perumahan
5. Bantuan pendidikan anak
6. Fasilitas kredit perumahan
7. Fasilitas kredit kendaraan,
8. Fasilitas liburan bersama
9. Jaminan sosial lainnya
10. Dll.

Bagaimana mengenai pengolahannya? Pengolahan nira sampai menjadi gula akan dikelola oleh Corporasi (selanjutnya kita sebut dengan koperasi). Koperasi akan membiayai pengadaan peralatan dan mesin yang diperlukan untuk pengolahan, pengemasan, pengangkutan, penampungan sampai pemasaran gula. Koperasi juga mengelola administrasi dan keuangan yang menyangkut usaha gula maupun kepentingan-kepentingan anggota koperasi. Jadi para petani perajin hanya bertugas sebagai penyadap dan pemelihara pohonnya supaya tetap menghasilkan nira yang bermutu bagus yang siap untuk diolah menjadi gula. Maka untuk pekerjaan inilah koperasi harus memungut jasa kelola usaha ini dengan lebih bermartabat.
Bagaimana dengan pemilik kebun atau pohon kelapa yang disadap? Pemilik pohon kelapa biasanya hanya menerima bagi hasil berupa gula atau uang senilai 1 ons gula untuk setiap pohon kelapa yang disadap. Jadi kalau ada 50 pohon yang disadap maka pemilik pohon berhak mendapatkan gula sebesar 5 kg atau uang senilai harga gula pada saat itu. Pemilik pohon bisa mendapatkan gula atau uang sesuai dengan perjanjian yang dibuat sebelumnya. Ini yang lazim digunakan.

Apakah dalam koperasi nanti polanya sama? Kalau masih dinilai bagus dan adil hal ini bisa saja diterapkan. Namun kalau dinilai kurang adil bisa juga diubah dengan metode yang lain. Pola yang pernah penulis temui adalah dengan sistem kontrak pohon selama periode waktu tertentu. Misalnya yang dilakukan Pak Subandi di Sebatik Nunukan, yang mengkontrak 200 pohon kelapa untuk disadap niranya dan dibuat gula. Untuk 100 (seratus) pohon dikontrak dengan harga Rp 8 juta per tahun. Jadi kalau 200 pohon Rp 16 juta setahun. Pada saat itu Pak Subandi bayar di depan atau diawal kontrak itu disepakati dan diperbaruhi setiap tahunnya.

Apa saja yang menjadi tanggung jawab korporasi ?
1. Membeli nira 
2. Mengatur pola kerja para anggota penyadap
3. Mengolah nira menjadi Gula
4. Menyiapkan Alat dan Mesin
5. Menyiapkan Gudang dan Pabrik
6. Menyiapkan Kantor
7. Menyiapkan bahan bakar
8. Memenej seluruh SDM yang terlibat
9. Mengelola administrasi dan keuangan Koperasi dan angotanya
10. Melakukan hubungan dengan pihak pembeli dan pihak lainnya.
11. Melakukan transaksi perdagangan dengan mitra usaha
12. Melayani kepentingan-kepentingan anggota yang berhubungan dengan usaha dan kepentingan lainnya sesuai kesepakatan.
13. Melakukan riset dan pengembangan usaha.
14. dll.


Beberapa pola kemitraan antara anggota, pengurus koperasi, dan pihak BBTF atau pihakketiga lainnya.

Apa saja nilai tambah dari usaha Coconut Brown Sugar ?
1. Mutu produk lebih bagus (Export Quality)
2. Harga produk lebih tinggi dari biasanya
3. Diversifikasi produk sesuai segmentasi pasar
4. Penghematan bahan bakar
5. Adanya produk samping berupa Arang
6. Adaya produk samping berupa Asap Cair (Liquid Smoke)
7. Penghematan tenaga kerja
8. Adanya jaminan bagi kesehatan, resiko kecelakaan dan jaminan sosial lainnya bagi para anggota.

Perhitungan nilai tambah :

1. Arang Kayu
Arang kayu yang diperoleh sebanding dengan jumlah kayu yang dibakar, cara pembakaran, nilai konversi dari kayu menjadi arang dan jenis kayu atau biomassa lannya.
Jika diasumsikan nlai konversi dari kayu menjadi arang ini mencapai 30 %, maka jika kayu untuk mengolah nira sebanyak 10.000 liter/hari ini 20 ton/hari, maka arang yang akan diperoleh adalah 6 ton/hari. Jika harga arang Rp 1.000/kg maka akan diperoleh nilai tambah dari Arang Kayu ini senilai Rp 6 juta/hari, atau Rp 180 juta/bulan atau Rp 2,16 M/tahun.

2. Asap Cair
Asap Cair yang akan diperoleh sebanding dengan jumlah kayu yang dibakar, cara pembakaran, nilai konversi dari kayu menjadi Asap Cair dan jenis kayu atau biomassa lannya.
Jika diasumsikan nlai konversi dari kayu menjadi Asap Cair ini mencapai 20 %, maka jika kayu untuk mengolah nira sebanyak 10.000 liter/hari ini 20 ton/hari, maka Asap Cair yang akan diperoleh adalah 4 ton/hari. Jika harga Asap Cair Rp 5.000/kg maka akan diperoleh nilai tambah dari Asap Cair ini senilai Rp 20 juta/hari, atau Rp 600 juta/bulan atau Rp 7,2 M/ tahun.

3. Penghematan kayu bakar
Banyaknya kayu bakar yang digunakan untuk mengolah nira tergantung dengan teknologi dan alat yang digunakan. Semain efisien teknologi dan aat yang digunakan maka akan semakin sedikit baha bakar kayu yang digunakan. Pola tradisional yang memasak menggunakan tungku yang sederhana bisa menggunakan kayu yang sangat banyak. Jika dihitung berdasarkan rasio antara nira yang dimasak sampai menjadi Gula Cetak dengan bahan bakar yang digunakan mungkin akan mencapai 1 liter nira : 4 kg kayu.
Jadi jika 10.000 liter nira yang dimasak maka kayu yang digunakan dengan cara tradisional akan mencapai 40 ton atau 40.000 kg atau sekitar 10 truk kayu.
Namun kalau menggunaka teknologi pengolahan dan tungku yang modern dengan tingkat efisiensi yang tinggi maka bahan bakar bisa dihemat, sebab rationira dan keperluan bahan bakar bisa diperkecil, misalnya menjadi 1 liter dibanding 2 kg bahan bakar kayu. Sehingga kalau yang diolah 10.000 liter nira/ hari, maka jumlah bahan bakar yang diperlukan adalah 20 ton (5 truk kayu) atau separuh dari sebelumnya.
Kalau 1 truk harga kayu Rp 375.000 maka jika ada penghemaan 5 truk per hari, maka yang dihemat senilai RP 1.875.000/ hari atau Rp 56,25 juta/ bulan atau Rp 675 juta per tahun.

4. Mutu produk meningkat harga juga meningkat
Tujuan dari berkoporasi antara lain adalah untuk meningkatkan mutu produk, yang biasanya berupa Gula Cetak dengan mutu biasa-biasa dan berstandar menjadi aneka produk gula yang berstandard ekspor. Yang dulunya tidak bemerek menjadi punya merek, punya patent dan bersertifikasi. Yang dulu kemasannya biasa-biasa saja menjadi produk yang menarik karena kemasannya bagus dan bervariasi. Mutu dan penampilan ditingkatkan untuk memperluas pasar secara vertikal karena menembus kalangan masyarakat konsumen ekonomi menengah dan tinggi, secara horisontal karena tersebar kepada konsumen di luar negeri.

Produk Palm Sugar sebenarnya memiliki nilai lebih dibandingkan dengan gula dari tebu, gula dari pohon maple, dll. Kelebihan yang melekat itu karena kandungan gizi Palm Sugar lebih lengkap. Kelebihan itu akan bertambah dengan citra organik yang terjaga dari proses budidaya pohonnya, penyadapannya sampai pada proses pengolahan dan pengemasannya.

Kelebihan-kelebihan di atas harus juga tercermin dari kemasan yang eksklusif, cantik, menarik yang mencitrakan produk yang memang mempunyai kelebihan dan keunggulan. Dengan demikian sangat wajar jika akan dihargai dengan lebih mahal dibandingkan yang biasa-biasa saja.


5. Diversifikasi produk
Produk juga akan mengalami pengembangan disesuaikan dengan pangsa pasar dan proses pengolahannya. Tentu karena sifat nira ini juga mudah mengalami perubahan kemis dan fisik karena adanya kandungan enzim yang masih aktif, maka dengan beragamnya keadaan petani anggota, dimungkinkan terjadinya mutu bahan nira yang beragam.  
Nira beragam kualitasnya karena beberapa hal, antara lain :  
- Masa sadap dan masa pemungutan,  
- kualitas kebersihan wadah nira, 
- jauh dan lamanya pengangkutan, 
- ada atau tidak adanya proses pematian atau penonaktifan enzimatis (dengan pemanasan),  
- kecepatan handling nira di pabrik, dll.
Maka nira digraging berdasarkan 2 hal, yaitu kadar gula dan pHnya, yaitu :
- Mutu A, dengan kadar gula 12 % dan pH diatas 6.5
- Mutu B, kadar gula 12 % dan pH antara 6 - 6,5
- Mutu C, kadar gula 12 % dan pH dibawah 5,5 – 6
- Mutu D, kadar gula 12 % dan pH dibawah 5,5

Setiap penurunan dan kenaikan kadar gula, maka nilai pembeliar nira juga menyesuaikan, karena pada dasarnya yan dibeli adalah kadar gulanya. Perlu juga dipahami bahwa dengan semakin besarnya kadar gula maka waktu mengolah juga semakin berkurang sehingga bahan bakar juga berkurang. Sebaliknya jika kadar gula semakin kurang artinya kadar air semakin tinggi, maka proses pemasakan menjadi lebih lama dan bahan bakar juga bertambah.

Demikian juga halnya dengan kadar pH. Jika pHnya rendah berarti telah terjadi proses fermentasi, artinya sebagian gula sudah diubah menjadi alkohol atau cuka, sehingga kadar gulanya berkurang. Selain itu kadar asam yang terbentuk dari proses fermentasi akan menyebabkan nira lama diolah menjadi gula, sehingga proses pemasakannya memerlukan bahan bakar lebih banyak dan mutu hasil gula menjadi menurun bahkan gula gagal dibentuk (kecuali gula cair).  

Nira yang terlalu asam akhirnya tidak bisa diolah menjadi gula dengan mutu yang standar, melainkan diolah menjadi gula cair, saguer (syrup asam), atau bahkan diolah menjadi bioethanol ataupun cuka. Produk-produk ini mengantisipasi beragamnya mutu nira yang nanti mungkin akan diterima dari petani. Tentu saja ini bukan produk utama yang dikehendaki, namun ini perlu diantisipasi agar jerih payah petani bisa tetap dihargai.  

Keadaan yang menyebabkan beragamya kualitas nira ini sangat banyak, baik teknis maupun nonteknis, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, seperti :
- Kebersihan wadah nira
- Perubahan cuaca
- Kebersihan pisau waktu penyayatan sadap
- Lamanya masa pengangkutan nira
- Tercampurnya nira dengan air hujan atau partikel lain di kebun
- Adanya hewan yang masuk dalam nira

Disamping diversifikasi produk terpaksa dilakukan karena mutu nira, bisa juga diversifikasi produk memang disengaja karena berkembangnya pasar dan tuntutan konsumen. Misalnya :
- Gula serbuk (Brown Sugar)
- Gula serbuk dengan aneka rasa dan flavour
- Gula Cetak berbagai ukuran
- Gula Cetak dengan aneka rasa dan flavour
- Gula Cair berbagai ukuran kemasan dan grade (mutu)
- Gula Cair dengan aneka rasa dan flavour
- Saguer berbagai rasa dan flavour
- Bioethanol dengan berbagai kandungan 
- Cuka dengan berbagai kandungan
- Dll.

(Bersambung)

Sabtu, 18 April 2009

NASIB PENDERES NIRA & PERAJIN GULA KELAPA DI BANYUMAS

NASIB PENDERES NIRA & PERAJIN GULA KELAPA DI BANYUMAS

Jika Pasar (dibiarkan) Mengatur Dirinya Sendiri

Oleh: Luthfi Makhasin (Dosen UNSOED, anggota Forum Lafadl)


Dalam novel Bekisar Merah, Tohari menggambarkan nasib malang yang dialami Rasus, seorang petani gula kelapa, menghadapi ulah para tengkulak. Mempertaruhkan maut menyadap nira dan bersimbah keringat mengolah nira menjadi gula, akhirnya toh dia hanya bisa pasrah menerima harga rendah yang ditawarkan seorang tengkulak di desanya, Pak Tirta. Tokoh Rasus dalam novel itu barangkali mewakili potret buram nasib 30-ribuan petani gula kelapa yang tersebar di sentra kerajinan gula kelapa Banyumas seperti Purwojati, Jatilawang, Wangon, Ajibarang, dan Cilongok.

Di kampungku, ujung utara ibukota kecamatan Cilongok, gula kelapa menjadi tumpuan hidup ratusan keluarga, terutama mereka yang tidak memiliki sawah. Sebagian besar dari mereka hanyalah buruh penderes, sebutan penyadap nira dan petani gula kelapa di Banyumas. Mereka menyadap nira dari pohon kelapa yang dimiliki tetangganya yang lebih kaya dengan imbalan beberapa kilo gula setiap hari pasaran. Sistem setoran gula seperti sewa ini disebut dengan mendreng.

Biasanya penderes menyetor setiap 35 hari sekali pada hari pasaran pon atau legi. Jumlah gula yang disetor tergantung kesepakatan, antara penderes dan pemilik pohon kelapa. Untuk setiap pohon yang dia sadap niranya, seorang penderes menyetor antara setengah sampai dua setengah kilo gula. Tapi itu tidak mutlak, karena tergantung kesuburan dan banyaknya nira yang bisa diambil.


Tidak ada yang tahu pasti mulai kapan aktivitas ekonomi ini berkembang. Konon, ketrampilan membuat gula kelapa ini sudah dikenal turun-temurun sejak masa Majapahit. Di kampungku ada juga cerita orang tua yang mengaitkan gula kelapa dengan Islam, karena pembuatan gula kelapa yang dipelopori para penyebar Islam mencegah pembuatan tuak dari nira seperti yang konon katanya lazim dilakukan pada masa lalu. Entahlah, tapi menurutku cerita yang mengaitkan gula dengan Islam ini terlalu mengada-ada.

***

Seorang penderes menghabiskan 3-8 jam waktunya untuk memanjat 10-35 pohon kelapa, mengambil pongkor (bumbung bambu tempat nira), memotong manggar (bunga kelapa), dan mengikat pongkor pada manggar. Pekerjaan ini tidak mengenal hari libur karena terlambat beberapa jam saja, nira tidak lagi bisa diolah menjadi gula. Kalaupun dipaksakan dimasak, nira masam ini hanya akan menjadi gula gemblung (gila). Gula gemblung adalah sebutan larutan kental nira yang tidak bisa kering dan dicetak menjadi gula. Gula gemblung adalah musibah bagi para penderes karena harganya sangat rendah.


Untuk mendapatkan gula berkualitas bagus, seorang penderes harus segera memasak nira yang disadapnya. Dulu mereka melakukannya dengan tungku besar dan kayu bakar. Sekarang mereka melakukannya diatas tungku khusus dengan serbuk kayu (gergajian) atau merang (kulit padi) yang dipadatkan. Gergajian dan merang sangat mudah didapatkan dari pabrik pemotongan kayu atau “rice mill” yang ada di kampungku atau kampung sebelah.

Pon atau legi adalah saat yang ditunggu semua penderes. Inilah saat ketika mereka mendapatkan uang tunai dari penjualan gulanya. Bisa dipastikan pada hari pasaran ini, warung, pasar, dan kios di kampung kecilku ramai oleh para penderes dan keluarganya yang sedang berbelanja kebutuhan sehari-hari.

Ramai tidaknya hari pasaran di kampungku adalah pertanda paling mudah untuk mengetahui naik-turunnya harga gula. Di kalangan penderes, ukuran tinggi rendahnya harga gula biasanya disandingkan dengan harga beras. Harga gula dianggap naik kalo sekilo gula sebanding atau lebih tinggi dari harga sekilo beras. Sebaliknya, harga gula dianggap rendah kalo nilainya lebih kecil dari harga sekilo beras.

***

Seorang juragan menjadi penghubung utama antara penderes dengan pasar di luar desa. Juragan gula ini uniknya bertempat tinggal di pemukiman pinggiran desa dan tersebar di empat penjuru angin. Mungkin ini ada hubungannya dengan tempat tinggal para penderes yang tersebar di pinggiran desa sebelah utara, selatan, barat dan timur. Di kampungku, ada istilah mapagi, yaitu menunggu dan menjemput bola para penderes yang sedang berjalan membawa gulanya setiap hari pasaran.


Karena hubungan sosial yang dekat, seorang penderes akan dibuat “rikuh” jika dia melewati rumah seorang juragan di dukuhnya tanpa memberikan gulanya kepadanya. Sangat jarang terjadi seorang penderes yang tinggal di selatan desa menjual gulanya ke juragan gula di utara desa, demikian juga sebaliknya. Tanggungan utang yang besar pada para juragan gula membuat posisi tawar penderes sangat lemah. Mereka biasanya hanya bisa menerima berapapun harga yang ditawarkan juragan langganannya.



Juragan gula adalah tumpuan utama bagi para penderes untuk mendapatkan uang tunai atau barang kebutuhan sehari-hari seperti beras, minyak, rokok, gula pasir, ikan asin dll. Seorang juragan dengan modal besar biasanya hanya menyediakan uang tunai kepada penderes. Sedangkan mereka dengan modal yang lebih kecil biasanya menjalankan warung yang menyediakan kebutuhan sehari-hari penderes langganannya.

Hubungan keduanya bisa digambarkan dalam dua ekstrem, eksploitatif dan bisa juga saling menguntungkan. Eksploitatif karena juragan menjadi penentu satu-satunya dan mutlak harga dan kualitas gula yang dibawa penderes. Sangat jarang terjadi seorang penderes menerima penuh uang penjualan gulanya. Seorang penderes biasanya menerima penjualan gula setelah dikurangi bunga pinjaman yang dikenakan seorang juragan. Di sisi lain, hubungan ini juga bersifat saling menguntungkan karena seorang juragan adalah juga kreditor yang sangat gampang bagi penderes dalam situasi darurat seperti hajatan, sakit, dan lainnya. Bonafid tidaknya seorang juragan di mata penderes biasanya ditentukan oleh kemampuannya menyediakan pinjaman uang kapanpun seorang penderes membutuhkannya.
Seorang juragan gula di kampung dengan modal lumayan menjual gulanya ke tengkulak besar Tionghoa di Purwokerto atau bahkan mungkin langsung ke tengkulak besar di Jakarta. Sedangkan seorang juragan dengan modal yang lebih kecil mengecerkan gulanya secara langsung ke pasar kabupaten sekitar Banyumas, seperti Tegal atau Brebes. Di Purwokerto, ada seorang juragan Tionghoa yang dianggap sebagai juragan gula terbesar di karesidenan Banyumas dengan omzet puluhan milyar setahun.

Dari juragan besar di Purwokerto atau Jakarta ini, gula kelapa kemudian dipasarkan ke konsumen menengah ke atas. Sebagian masuk ke jaringan supermarket dan pasar modern, sebagian lain masuk ke pabrik makanan seperti Indofood atau Unilever. Industri makanan dalam negeri ini menggunakan gula kelapa utamanya untuk membuat kecap, kue dan makanan lainnya. Tapi ada juga yang masuk ke pasar ekspor seperti Jepang dan Australia. Beda dengan di Indonesia, Jepang konon menggunakan gula kelapa kristal dari Indonesia sebagai bahan baku campuran cat. Karena permintaan yang tinggi untuk ekspor ke Jepang, saat ini semakin banyak orang yang membuat gula kelapa kristal. Sementara untuk Australia, hampir semua ‘Asian Store’ menjual gula kelapa ‘made in Indonesia’.

Waktu pertama mendapatkan gula kelapa kemasan 100 gram di sebuah Asian Store di Canberra, aku cukup kaget mendapati harganya yang $3,5. Itu artinya, sekilo gula kelapa disini dihargai sekitar 200 ribu perak. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala tidak percaya karena seorang penderes di kampungku sudah sangat bersyukur jika juragan membeli gulanya Rp 5000 per kilo. Itupun hanya 2-3 kali saja dalam setahun.

***

Struktur pasar yang timpang seperti itu sudah berlangsung puluhan tahun. Pada 1970-an pernah ada usaha kolektif untuk memberantas sistem ijon yang lazim dilakukan para tengkulak/juragan. Ini dilakukan dengan mendirikan koperasi gula kelapa. Koperasi gula kelapa di Banyumas pernah memiliki aset yang lumayan besar seperti gedung kantor, gudang dan kendaraan. Tapi karena ketidakbecusan para pengelolanya, koperasi gula kelapa ini akhirnya bangkrut dengan meningggalkan aset-aset yang menjadi bancakan segelintir orang. Tidak heran kalo para penderes punya istilah sarkastis untuk koperasi, ‘kopras-kopres ora isi”, artinya kira-kira cuman bisa ngomong tak ada bukti.

Pada masa kepemimpinan Djoko Sudantoko (1988-1998), Pemda juga pernah mencoba melakukan intervensi langsung untuk memberantas sistem ijon dalam pemasaran gula kelapa. Caranya dengan mengalokasikan dana dari APBD untuk membeli gula dari para petani. Tapi karena perlawanan keras dari para juragan besar, usaha inipun akhirnya kandas.

Dengan jumlah produksi tidak kurang dari 44 ribu ton per tahun, gula kelapa adalah bisnis yang sangat menggiurkan. Juragan dengan modal besar menguasai jaringan pemasaran yang sangat luas dan sumber dana yang hampir tanpa batas untuk dikucurkan kepada para penderes. Dengan iming-iming uang tunai inilah para juragan mengikat penderes untuk menjual gulanya terus-menerus kepadanya, meski dengan harga rendah sekalipun.

Problem internal dan kondisi struktural tidak bersahabat yang dialami para penderes seringkali memunculkan aksi-reaksi dalam bentuk perlawanan dan anti perlawanan antara penderes dengan para juragan. Seorang penderes kadang mengemplang utangnya kepada juragan jika dia merasa harga yang ditawarkan terlalu rendah. Umumnya ini dilakukan dengan menjual gulanya secara diam-diam kepada saingan juragan langganannya. Tidak jarang seorang penderes juga menambahi bahan lain ketika mencetak nira kental agar timbangan gulanya bertambah. Bahan lain ini bisa berupa bahan yang tidak berbahaya seperti dedak, singkong sampai yang berbahaya seperti kerikil, arang kayu, dan baterai bekas. Caranya, mereka memasukkan bahan-bahan ini ke tengah cetakan bambu yang kemudian dituangi cairan nira kental. Ketika nira mengering menjadi gula, sekilas tak terlihat kalau gula cetakan itu sebenarnya mengandung segala macam sampah seperti dedak, singkong, kerikil dan lainnya di dalamnya,

Menghadapi ‘ulah nakal’ penderes yang rutin seperti ini, maka seorang juragan biasanya adalah tipe pedagang yang lihai berdiplomasi. Seorang juragan yang lihai umumnya tahu persis kondisi penderes langganannya, seperti berapa banyak pohon kelapa yang disadap, berapa kilo hasil niranya dalam satu pasaran, dan lainnya. Ini untuk memastikannya tidak salah melakukan penilaian terhadap kelayakan kredit (credit worthiness) penderes langganannya.

Seorang penderes yang biasanya hanya menyetor 10 kilo gula tapi tiba-tiba bisa menyetor 15 kilo di minggu berikutnya pastilah tidak akan lepas dari kecurigaan seorang juragan. Dia akan mengemukakan beribu alasan untuk menurunkan harga gula sang penderes hanya seharga 10 kilo seperti biasanya. Setelah si penderes pulang, diam-diam dia akan menuangkan air panas atau memotong gula yang dicurigainya. Gula yang telah dicampur dengan dedak atau singkong misalnya, akan segera mencair ketika dituang air panas.

Dengan ini dia bisa menanggapi ‘kecurangan’ yang dilakukan penderes langganannya tanpa harus mempermalukannya secara langsung dan yang lebih penting, menjaga bisnisnya tetap jalan, menguntungkan dan menjaga loyalitas penderes langganannya agar tidak lari ke juragan saingannya. Tapi strategi pertama ini biasanya jarang dilakukan karena menurunkan harga terlalu rendah mengandung resiko larinya penderes ke juragan lain.

Umumnya seorang juragan lebih memilih strategi lain untuk memenangkan reaksi perlawanannya terhadap penderes. Menolak pinjaman baru sebelum pinjaman lama lunas lebih sering ditempuh karena ini mengandung resiko lebih kecil untuk memunculkan ‘pembangkangan’ para penderes. Seorang juragan yang memiliki warung biasanya melakukan ‘trick’ tawar-menawar untuk menjaga loyalitas penderes. Dia akan menurunkan harga untuk barang utama yang dibutuhkan penderes tapi menaikkan harga untuk barang kebutuhan sekundernya. Misal seorang penderes yang sangat membutuhkan beras, dia akan sangat senang jika bisa mendapatkan sekilo beras dengan harga 50 atau 100 perak dari warung lain. Dia tidak sadar kalo diam-diam si juragan menaikkan harga sabun, gula, kopi atau rokok yang dibelinya untuk menutup harga beras yang diturunkan sebelumnya. Cara seperti ini biasanya sudah cukup untuk melambungkan reputasi si juragan di mata penderes.

***

Perdagangan gula kelapa di Banyumas mewakili apa yang diistilahkan Polanyi dengan fenomena pasar yang mengatur dirinya sendiri (self-regulating market). Pasar yang mengatur dirinya sendiri ini sayangnya tidak dibarengi dengan perlindungan yang memadai bagi mereka yang berada di hierarki terbawah, yaitu penderes. Penderes tetap menjadi pihak yang paling ‘vulnerable’ terhadap tindakan pendisiplinan pasar. Berbeda dengan para juragan yang bisa mengalihkan resiko pendisiplinan pasar kepada penderes – dalam bentuk penurunan harga dll – , penderes harus menanggung sendiri resiko itu.



Seperti juga nasib Rasus di novelnya Tohari, kalo ada penderes yang mengalami kecelakaan karena jatuh dari pohon kelapa yang dipanjatnya, mungkin ini akibat terlalu penat memikirkan kenapa manis gula yang mereka buat tidak semanis hidup mereka yang selalu saja melarat…

Sumber : http://lafadl.wordpress.com/2007/01/22/jika-pasar-dibiarkan-mengatur-dirinya-sendiri…/

Selasa, 07 April 2009

Foto-foto Memanjat Kelapa dan Siwalan

Foto-foto Memanjat Kelapa dan Siwalan

by Dian Kusumanto


Perlengkapan pemanjatan dan pengambilan Nira Kelapa, pekerjaan yang resikonya amat tinggi


Para pemanjat berpose dulu dengan sang Juragan (Pak Beny) sebelum memanjat pohon kelapa

Tinggi pohon kelapa ini sudah di atas 10 meter, bahkan ada yang sekitar 20 meter.  Setiap hari yaitu pagi dan sore rata-rata petani atau perajin gula kelapa ini memanjat 50-60 pohon.


Pada saat turun dari atas pohon harus lebih hati-hati, justru resiko jatuh lebih besar karena selain ada beban tambahan yang harus dibawa, juga kalau turun biasanya agak cepat.

Pengangkutan Nira dari kebun ke tempat pemasakan Nira menjadi Gula dengan Sepeda Motor


Pemanjat ini menggunakan pembalut kaki berupa kain-kain agar kaki tidak sakit dan tidak licin.  Mestinya ada Sepatu khusus untuk memanjat pohon kelapa.

Membawa hasil pemanjatan dari sadapan tandan bunga kelapa berupa Nira dalam jerigen dan timba plastik

Memanggul jerigen 20-30 literan yang berisi Nira Kelapa


Kebun Kelapa di Desa Pondok Nongko Kecamatan Kabat Kabupaten Banyuwangi ini rata-rata pohonnya sudah tua dan tingginya sudah sekitar 15-20 meter.

Memanjat adalah pekerjaan harian.  Rata-rata pemanjat ini orangnya sehat-sehat, kekar dan kuat.  (Kalau sedang sakit kan nggak bisa manjat...)

Kalau ini pohon Siwalan atau pohon Lontar yang berjejer rapat, sehingga kanopi daun bisa saling ketemu

Jarak antar pohon sekitar 4 meteran, biasa juga para pemanjat menyeberang dari pohon ke pohon melalui pelepah daunnya yang saling bertemu.  Pelepah daun cukup kuat menahan beban pemanjat.

Para pemanjat pohon Siwalan dari Desa Boto, Kecamatan Semanding,  Kabupaten Tuban, Jawa Timur,  Indonesia.  Naah.. lengkap sudah alamatnya.

Pemanjat sedang beraksi di atas pelepah daun Siwalan yang cukup kuat dan kokoh.  Mereka banyak bekerja di udara di atas pohon kelapa, makanya mereka bisa disebut "pasukan Angkatan Udara".


Aktifitas di atas pohon Siwalan berpijak, duduk, berpegangan, bersandar, dll. dengan pelepah daunnya yang kokoh dan kuat.

Pada saat memanjat mereka membawa wadah-wadah Nira yang terbuat dari bumbung bambu yang disebut dengan Bonjor

Untuk memudahkan pemanjatan pada batang pohon Siwalan ditukak, sedikit dilubangi sekedar untuk tempat kaki berpijak saat memanjat


Memajat pohon setiap pagi sekitar jam 6-8 pagi dan jam 5-6 sore.


Pada saat turun dari pohon biasanya pemanjat malah membawa beban cukup berat berupa bumbung-bumbung bambu yang sudah berisi nira.  Pada saat turun pohon begini biasanya resiko untuk terpeleset malah lebih tinggi.  Hati-hati ya Pak!! Makanya niatnya dipasang untuk beribadah dalam rangka menafkahi & menghidupi keluarga, biar kita nggak sia-sia. 

Rabu, 25 Februari 2009

Alat Memasak Gula Merah dari Drum Bekas

Alat Memasak Gula Merah dari Drum Bekas

Diagram atau pola tungku berbahan kayu untuk memasak nira Pohon Maple di Kanada dan Amerika. Teknologi ini bisa diterapkan untuk memasalk Nira Aren agar lebih menghemat bahan bakar, hasil olah yang lebih berkualitas & beragam serta pekerjaan menjadi lebih ringan dan efesien.

Evaporator untuk mengolah nira Pohon Maple menjadi Sirup Maple (Maple Syrup) seperti ini harganya antara US$ 3000 sampai US$ 5000 atau sekitar Rp 30 juta sampai Rp 50 juta itu harga di Kanada dan Amerika. Kalau dikirim ke Indonesia harganya bisa mencapai dua kali lipatnya.



Alat Evaporator untuk memasak nira Kelapa menjadi Gula Merah/ Gula Kelapa. Tempat pembakaran terbuat dari Drum Bekas, sedang "Pan Evaporator" sebaiknya terbuat dari bahan yang tidak mudah berkarat atau stainless steel atau alumunium yang cukup tebal. Dengan 4 buah drum ukuran 200 literan panjang alat sekitar 360 cm, panjang 'pan evaporator' sekitar 300 cm, tinggi sekitar 30 cm, maka volume nira yang bisa dimasak sekitar 200 liter sekali masak.



Sabtu, 14 Februari 2009

PENERAPAN CORPORATE FARMING UNTUK PETANI PERAJIN GULA KELAPA RAKYAT


PENERAPAN CORPORATE FARMING UNTUK PETANI PERAJIN GULA KELAPA RAKYAT

Oleh : Dian Kusumanto

 Pada tulisan terdahulu kita menganggap bahwa suatu keharusan atau wajib hukumnya untuk merevolusi atau merevitalisasi industry gula aren rakyat. Dengan perubahan-perubahan pola usaha ini diharapkan akan dinikmati oleh para perajin atau petani gula aren. Sebenarnya hal ini juga berlaku untuk industry rakyat di luar komoditi aren, misalnya industry rakyat gula kelapa ataupun gula siwalan atau lontar, yang selama ini keadaannya masih rentan terhadap perubahan iklim usaha dan persaingan usaha masa yang akan dating.

 Merevolusi artinya melakukan perubahan dengan mendasar dan menyeluruh dalam waktu yang relative singkat. Merevitalisasi artinya membuat, mengkondisikan, merubah dari yang dulunya lemah dan rentan terhadap cuaca usaha menjadi kuat dan tahan terhadap segala keadaan. Perubahan-perubahan yang kita inginkan adalah perubahan yang menjadikan industry rakyat ini menjadi lebih efisien, lebih berdaya saing, mampu menembus pasar yang lebih luas, sehingga memperoleh nilai tambah bagi tingkat pendapatan dan kesejahteraan para pelaku usaha industry gula rakyat. Apa saja perubahan yang harus dilakukan agar tujuan perubahan itu tercapai ?  

 Pertama adala merubah pola invidual kearah corporate, artinya para perajin atau petani jangan sendiri-sendiri lagi dalam mengelola industry gula rakyat ini. Merubah budaya saling bersaing menjadi saling bekerja sama. Budaya saling bersaing dan saling menghancurkan ini memang sengaja diciptakan oleh oknum-oknum yang memanfaatka keadaan bagi kepentingannya sendiri.

 Untuk menyamakan persepsi diantara para perajin, kemudian bersepakat membentuk kelompok (korporasi) atau dalam bentuk koperasi, memerlukan keberanian, kecerdasan dan energy ekstra besar. Pemberian pemahaman tentang perlunya berkorporasi menjadi agenda yang secara konsisten harus dilakukan. Maka diperlukan ketokohan, kepeloporan dari salah satu atau beberapa orang di antara mereka.  

 Bila di suatu sentra ada sekitar 10 perajin, maka apabila dihitung dengan keluarganya sudah terkumpul sekitar lebih dari 20 orang. Dengan 20 orang kita sudah bisa membentuk Koperasi. Memang koperasi dibentuk dengan spirit untuk saling bekerja sama, saling bersatu menguatkan barisan, mengumpulkan modal untuk mengatasi masalah bersama dan mencapai tujuan bersama.  

  Contohnya begini, pada saat penulis mampir ke Pondok Nongko Desa Sobo di Banyuwangi yang merupakan salah satu sentra perajin gula kelapa. Setiap perajin gula merangkap sekalian menjadi penderes atau penyadap, yang bekerja memanjat, memungut air nira sekaligus juga memasak nira menjadi gula. Kebanyakan para perajin adalah bukan pemilik pohon, perajin melakukan kerjasama dengan pemilik pohon dengan system bagi hasil.

 Untuk kerja sama ini perajin berkewajiban untuk mengelola pohon kelapa untuk produksi gula. Setiap seorang perajin biasanya bisa menyadap pohon kelapa hingga mencapai 50 – 60 pohon kelapa , tergantung kesepakatan dengan pemilik pohon. Setiap perajin mempunyai suatu tungku sendiri untuk mengolah nira menjadi gula merah. Segala kebutuhan bahan bakar, tenaga untuk pengolahan gula, tenaga untuk memasarkan gula dan lain-lain dikelola secara sendiri-sendiri oleh petani atau perajin.

 Demikian juga yang terjadi pada perajin gula Aren rakyat di Bulukumba Sulawesi Selatan dan sekitarnya. Setiap perajin gula adalah pemilik pohon aren itu sendiri. Setiap perajin rata-rata mengelola antara 4 sampai 10 pohon Aren dan satu tungku pemasakan gula aren. Pekerjaan ini biasanya juga melibatkan anggota keluarga yang lain. Keadaan pola usaha yang individual ini terjadi juga di daerah lain sentra-sentra produksi gula aren.  

Seperti juga perajin gula kelapa, petani sekaligus perajin gula aren juga melakukan usahanya secara sendiri-sendiri. Segala kesibukan mulai memanjat pohon, memungut nira, memelihara sadapan dan pohon aren sampai kepada mengolah nira menjadi gula, mencari kayu bakar untuk tungku pemasakan bahkan melakukan pengemasan dan pemasaran produk gula aren.

  Untuk menuju efisiensi usaha gula aren rakyat, usaha gula kelapa rakyat dan usaha gula berasal dari pohon lontar (gula lontar atau gula siwalan), maka kita harus meninggalkan pola usaha individual dengan skala yang kecil-kecil. Para perajin harus bersatu, saling bekerja sama, menerapkan pola korporasi, menggunakan alat pengolahan dengan teknologi yang memadai. Para perajin harus mengikis kepentingan-kepentingan individual yang saling merugikan, namun sebaliknya harus saling bersatu guna mengatasi problema atau kendala-kendala yang mungkin saja timbul dalam usaha gula rakyat ini.

Meraih keuntungan-keuntungan berkoporasi

  Dengan berkoporasi banyak hal keuntungan nilai tambah yang dapat diperoleh. Nilai tambah dan keuntungan yang dapat diperoleh antara lain adalah :

1. Kapasitas alat pengolahan menjadi lebih besar lebih modern, karena memang didesign mampu menampung dan mengelola produksi dari para anggotanya.

2. Efesiensi bahan bakar, karena menggunakan tungku atau alat yang hemat energy. 

3. Efesiensi tenaga kerja pemasak gula, petani atau perajin mempunyai waktu luang lebih banyak untuk kepentingan-kepentingan yang lain.

4. Mutu produk dapat dengan mudah ditingkatkan, karena tempat dan kondisi pengolahan diciptakan sedemikian rupa sehingga tingkat hieginitas, pengontrolan mutu gula bisa diatur dengan lebih baik.

5. Variasi produk dengan ciri khas kemasan lebih bagus, tidak saja berbentuk gula cetak, tapi sudah bervariasi dengan gula serbuk atau gula cair (gula syrup).

6. Bisa membentuk badan usaha koperasi atau yang lain, karena yang terlibat ada sekitar 20 orang.

7. Ada peluang lebih besar untuk mengakses bantuan modal dari Bank atau sumber financial lainnya. Bank lebih percaya pada usaha yang berbentuk badan usaha dari pada perorangan.

8. Ada peluang untuk memperoleh perhatian dan kerjasama dari pemerintah atau lembaga-lembaga yang lain. Apalagi setelah korporasi ini berjalan dengan baik dan mampu member nilai lebih kepada para anggotanya.

9. Dengan perbaikan alat dan tungku pengolahan gula, usaha gula rakyat berpeluang menghasilkan produk tambahan berupa arang dan asap cair, yang nilai penjualannya bisa melebihi produk gula itu sendiri. Alat dan model tungku bisa didesign sendiri dibuat sendiri atau bekerja sama dengan bengkel setempat menggunakan contoh-contoh teknologi tungku yang ada. Asap cair banyak dibutuhkan untuk pengawetan produk-produk pertanian, perkebunan, perikanan dan makanan olahan. Asap cair juga diperlukan untuk para petani untuk pengganti pestisida kimia yang membahayakan kesehatan, untuk para petani ikan untuk membasmi penyakit ikan di kolam, dll.

10. Dll.


Contoh 1 : Koperasi Gula Kelapa rakyat (saran untuk petani perajin gula kelapa di Pondok Nongko Banyuwangi)

Korporasi itu mungkin saja berbentuk koperasi Gula Rakyat, yang dibentuk atas dasar kemauan anggota yang mungkin saja terdiri dari 10 orang perajin atau penyadap, 5-10 orang pembantu perajin atau penyadap dan 5-10 orang pemilik pohon. Dengan minimal 20 orang anggota bisa dibentuk sebuah koperasi perajin gula rakyat. 

Pohon kelapa yang dikelola untuk gula sekitar 500 pohon (50 pohon/penyadap x 10 penyadap), dengan produksi nira sekitar 1.500 liter per hari (500 pohon x 3 liter/hari). Maka koperasi ini akan memproduksi gula kelapa sekitar 300 kg/hari ( 1.500 liter/hari : 5 liter/kg gula), dengan harga gula kelapa Rp 5.000 /kg maka pendapatan kotor koperasi yang berasal dari penjualan gula adalah Rp 1,5 juta per hari atau Rp 45 juta per bulan.

Tungku dan alat pengolahan gula sudah diperbaiki agar memungkinkan penghematan bahan bakar berupa kayu, sekam atau limbah gergajian, dll. Biasanya setiap perajin memerlukan kayu bakar sekitar 1 truk untuk memasak selama 10 hari, berarti kalau 10 perajin diperlukan 1 truk kayu bakar per hari. Korporasi yang mengelola hasil nira dari 10 perajin ini, dengan alat dan tungku hemat energy ini hany memerlukan sekitar 50 % bahan bakar yaitu 1 truk untuk sekitar 2 hari. Kalau 1 truk beratnya sekitar 2-3 ton, maka setiap hari hanya separuhnya, yaitu sekitar 1 sampai 1,5 ton kayu bakar.  

Harga kayu bakar berupa kayu limbah gergajian ini di tingkat perajin gula kelapa di Banyuwangi seharga Rp 375.000 per truk. Kalau penghematan bisa mencapai 50 % saja berarti ada penghematan sekitar Rp 187.500 per hari atau senilai Rp 5.625.000 per bulan, atau Rp 67.500.000 dalam setahun.

Penghematan tenaga kerja perajin yang dulunya diperlukan 10 orang atau lebih dalam mengelola gula secara individual, menjadi atau cukup dengan 2-3 orang saja. Berarti bisa dihemat tenaga sekitar 7-8 orang. Nilai penghematan itu sekitar Rp 200.000 per hari, atau Rp 6 juta/ bulan atau 72 juta per tahun. Jadi dari bahan bakar dan tenaga olah gula bisa dihemat sekitar Rp 140 juta per tahun. Kalau anggota koperasi ada 20 orang berarti pendapatan tambahan dari penghematan bahan bakar dan tenaga olah saja sekitar Rp 7 juta / tahun / anggota. Lumayan bukan?!

Belum lagi bila tungku diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk selain memasak gula, juga menghasilkan arang (kayu, sekam, dll.) dan asap cair. Misalnya diasumsikan 1 kg arang dapat dibuat dari 4 kg kayu, dan 1 liter asap cair dapat dihasilkan dari 5 kg kayu, kalau setiap hari menghabiskan 1 ton kayu maka akan dihasilkan arang sekitar 250 kg dan asap cair sekitar 200 liter. Ini asumsi yang masih sangat kasar, angkanya bisa dikoreksi, bisa berkurang atau bertambah.

Produk samping yang dulu tidak kita pikirkan sekarang menjadi sumber pendapatan samping baru. Lalu berapa penghasilan tambahan dari arang dan asap cair ini ? Yang kita tahu sekarang ini adalah harga asap cair yang dibuat dari batok atau tempurung kelapa senilai antara Rp 7.000 – Rp 20.000 per liter, katakanlah Rp 10.000 per liter, maka nilai asap cair 200 liter itu adalah Rp 2 juta per hari. Kalau arang bisa dijual dengan harga Rp 1000 per kg, maka dari arang mendapat tambahan Rp 250.000 per hari. Berarti dari arang dan asap cair ada penghasilan sekitar Rp 2.250.000 per hari, atau Rp 67,5 juta per bulan, atau Rp 810 juta per tahun.

Nilai tambahan penghasilan dari produk arang dan asap cair ini memang sangat fantastic, maka sayang kalau tidak dimanfaatkan. Kalau dibagi kepada 20 orang anggotanya, maka rata-rata per orang akan mendapatkan tambahan penghasilan sebesar Rp 40,5 juta per tahun. Dengan penghematan bahan bakar dan tenaga tadi, maka dengan menerapkan pola korporasi ini ada peluang peningkatan pendapatan sekitar Rp 47,5 juta per tahun per anggota korporasi. Nilai yang fantastic!!!

Bagaimana menurut Anda?