KAJIAN TEKNO-EKONOMI PRODUKSI FUEL GRADE ETHANOL DARI NIRA AREN DAN KELAPA SEBAGAI SUMBER ENERGI ENGINE ALTERNATIF
Oleh : L. EGA (BP. KAPET SERAM – MALUKU, UNDP – JAKARTA), BAMBANG TRIWIYONO, dkk (BPPT – JAKARTA)
Sumber:
http://kapetseram.s5.com/info_bioetanol.html
I. PENDAHULUAN
Sejak akhir tahun 2004 Indonesia merupakan satu-satunya negara
anggota OPEC yang telah menjadi net importer minyak mentah. Penurunan
ekspor BBM secara perlahan sudah berlangsung sejak 1991, sementara itu
untuk memenuhi kebutuhan kilang BBM lokal, Indonesia harus mengimpor
minyak mentah dalam volume yang makin tinggi. Sulit dihindarkan bahwa
sejak 2004 sektor yang sangat vital ini tidak lagi sebagai mesin devisa
untuk menopang ekonomi nasional, bahkan telah berubah menjadi beban yang
menimbulkan berbagai masalah terhadap kesejahteraan rakyat.
Mengingat harga minyak mentah dunia cenderung terus meningkat hingga
melebihi US$ 50.0/barrel, sedangkan impor minyak mentah dan hasil
olahannya untuk kebutuhan dalam negeri juga semakin meningkat, maka
dibutuhkan berbagai langkah strategis untuk menghemat cadangan energi
konvensional, menjaga ketersediaan energi, serta mengurangi pembelanjaan
devisa dari sektor ini.
Di samping itu, penggunaan energi fosil telah menimbulkan emisi
berbagai gas yang menjadi polutan berbahaya di udara. Bahan aditif
timbal yang selama ini digunakan sebagai peningkat angka oktan (octane
enhancer) pada bahan bakar bensin ikut berkontribusi terhadap pencemaran
udara tersebut. Penggunaan MTBE (Methyl Tertiary Butyl Ether) sebagai
pengganti TEL (Tetra Ethyl Lead) merupakan upaya untuk mengurangi
pencemaran lingkungan, namun bahan tersebut harus diimpor, dan
penggunaannya sudah mulai dilarang di berbagai negara.
Dalam upaya mengatasi berbagai masalah tersebut, program pengembangan
bioetanol dari biomasa perlu diaktifkan kembali, dengan multi effect
sebagai berikut:
- Pemanfaatan bioetanol sebagai bahan bakar alternatif atau pengganti
aditif pada bensin untuk otomotif, yang dapat diperbaharui (renewable),
dan dapat diproduksi dari hasil pertanian.
- Penghematan devisa karena pengurangan impor MTBE (Methyl Tertiary
Butyl Ether) dan minyak olahan akibat disubstitusi oleh bioetanol.
- Peningkatan dayaguna berbagai sumber karbohidrat yang potensial
untuk bahan baku produksi bioetanol, seperti nira aren, sorgum manis,
biji sorgum, ubi kayu dan lainnya.
- Memberikan peluang/potensi komersial dari Carbon Credit yang sesuai
dengan skema Clean Development Mechanism yang diamanatkan dalam Kyoto
Protocol.
- Meningkatkan ekonomi pedesaan secara nasional melalui pengembangan
industri bioetanol dan agroindustri pendukungnya yang terdesentralisasi
di kawasan pertanian-pedesaan.
- Menciptakan lapangan pekerjaan bagi berbagai tingkatan pendidikan
- Mengurangi polusi udara dan segala dampak negatifnya
Dalam rangka mengimplementasikan upaya pengembangan bioethanol
tersebut hingga tingkat daerah, maka perlu dilakukan kajian
tekno-ekonomi nira aren (Arenga pinnata) sebagai bahan baku produksi
bioetanol skala kecil. Nira aren merupakan salah satu sumber
karbohidrat dari palma yang belum dikaji secara mendalam untuk digunakan
sebagai bahan baku industri bioetanol, walaupun secara tradisional
sudah lama dimanfaatkan untuk pembuatan minuman beralkohol.
II. TINJAUAN TEKNIS
2.1. SIFAT ETHANOL
Ethyl alcohol atau ethanol adalah salah satu turunan dari senyawa
hidroksil atau gugus OH, dengan rumus kimia C2H5OH. Istilah umum yang
sering dipakai untuk senyawa tersebut, adalah alkohol. Ethanol mempunyai
sifat tidak berwarna, mudah menguap, mudah larut dalam air, berat
molekul 46,1, titik didihnya 78,3°C, membeku pada suhu –117,3 °C,
kerapatannya 0,789 pada suhu 20 °C, nilai kalor 7077 kal/gram, panas
latent penguapan 204 kal/gram dan mempunyai angka oktan 91–105 (Alico,
1982).
2.2. PENGGUNAAN ETHANOL
Ethanol dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Setelah dicampurkan
dalam gasoline, digunakan sebagai bahan bakar di berbagai negara
seperti Brazil, Amerika Serikat, Argentina, Australia, Kuba, Jepang,
Selandia Baru, Afrika Selatan, Swiss dan lain-lain. Pada masa Perang
Dunia I dan II industri alkohol berkembang pesat, dengan tujuan utama
sebagai bahan bakar. Selain itu etanol banyak digunakan juga dalam
industri minuman, kosmetik dan industri pharmasi seperti deterjen,
desinfektan dan lain-lain. Alkohol dari produk petroleum atau dikenal
sebagai alkohol sintetis banyak dipakai untuk bahan baku pada industri
acetaldehyde, derivat acetyl dan lain-lain.
2.3. PEMBENTUKAN ETHANOL
Ethanol untuk kebutuhan industri dapat dibuat secara fermentasi dari
karbohidrat, yang produknya disebut sebagai bioethanol; atau hasil
reaksi kimia dengan cara hidrasi ethylene, memakai katalis asam pospat.
Ethanol dari hidrasi gas ethylene yang merupakan hasil samping pemurnian
minyak bumi, dikenal sebagai ethanol sintetis. Setelah Perang II,
eksplorasi minyak bumi secara besar-besaran memungkinkan pembuatan
ethanol sintetis lebih murah dan menggantikan proses produksi ethanol
secara fermentasi. Namun sejak kenaikan harga yang disertai
ketidak-pastian penyediaannya, telah memacu berbagai negara Eropa, US,
Brazil, untuk mengembangkan kembali teknologi pembuatan ethanol secara
fermentasi, terutama bertumpu pada sumber daya yang dapat terbarukan.
Pembuatan ethanol secara sintetis tidak dibahas lagi, mengingat salah
satu tujuan pengembangan produk alkohol di sini, adalah sebagai bahan
bakar cair pengganti minyak bumi.
Penerapan teknologi fermentasi ethanol dalam skala industri, sejak
Perang Dunia II belum ada perubahan yang mendasar. Proses fermentasinya
menggunakan sistem bacth dengan masa inkubasi berkisar 50 jam dan
semata-mata mengandalkan strain khamir yang telah terpilih secara nyata
berproduktivitas tinggi. Khamir mempunyai sifat selektivitas sangat
tinggi untuk membentuk ethanol (metabolite lain sebagai hasil samping
sangat kecil) dan sangat tahan terhadap perubahan kondisi pertumbuhan
atau gangguan kontaminasi (Maiorella dkk, 1981). Konsentrasi ethanol
dalam broth di akhir proses, berkisar 8 sampai 12%v.v dan selanjutnya
dipekatkan (dimurnikan) dengan proses distilasi atau cara lain. Berbagai
penelitian maupun pengembangan modifikasi sistem proses fermentasi dan
atau penggunaan mikroba lain, telah banyak dilakukan untuk memperbaiki
hasil, meningkatkan konsentrasi ethanol dalam broth dan mempersingkat
waktu proses (Alico, 1982; Kosaric dkk, 1981; Maiorella dkk, 1981).
Penemuan bakteri thermophilic Clostridium thermosaccharolitycum dan
Zymomonas mobilis yang mampu mengubah glukosa menjadi ethanol secara
efesien dan cepat, merupakan peluang yang penting untuk meningkatkan
produktivitas pada proses pembuatan ethanol. Produktivitas Zymomonas
mobilis dapat mencapai 600 g ethanol per-jam setiap liter fermentor.
Namun demikian, konsentrasi ethanol dalam broth masih rendah, yaitu
6~8%vv. Sebagai pembanding, produktivitas Saccharo-myces cerevisiae pada
proses fermentasi secara batch hanya 1.8 hingga 2.5 g per-jam dalam
setiap liter fermentor (Kosaric dkk, 1981; Maiorella dkk, 1981; Scott,
1983).
Kapang juga mempunyai prospek bagus untuk industri ethanol. Sebagai
contoh genus Rhizopus yang biasa digunakan dalam proses fermentasi
anggur China tipe tertentu. Kadar ethanol akhir dalam broth anggur
tersebut mendekati 18 %vv (Wittcoff, 1980).
2.4. BAHAN BAKU
Bahan baku untuk pembuatan ethanol secara fermentasi berupa
karbohidrat, dan hampir semua karbohidrat terbentuk dalam tanaman
melalui proses photosintesa, baik sebagai gula (sakharida) yang terdiri
dari satu atau dua gugus sakharosa, maupun senyawa lebih komplek sebagai
zat pati dan selulosa.
Bahan sumber gula yang dapat dibuat menjadi ethanol, meliputi nira
tebu, nira kelapa, nira aren, beet dan sweet sorghum, namun bahan ini
paling mahal dan biasa digunakan dalam industri gula. Molases sebagai
hasil samping dari industri pembuatan gula tersebut, lebih umum
digunakan sebagai bahan baku industri ethanol, dari pada langsung
diambil niranya. Keuntungan penggunaan nira gula dan molases dalam
industri ethanol, yaitu tidak memerlukan proses pendahuluan karena
bentuk senyawa karbohidratnya sudah siap diubah oleh mikrobia (Kosaric
dkk, 1981; Maiorella dkk, 1981).
Bahan hasil pertanian yang berkadar pati tinggi, meliputi biji-bijian
(gandum, jagung, beras, dll), kacang-kacangan dan umbi-umbian (kentang,
ubi jalar dan ubi kayu). Karbohidrat dalam bentuk zat pati tersebut
untuk pembuatan ethanol harus dihidrolisa dahulu menjadi glukosa. Pada
Tabel 1 disajikan potensi berbagai jenis tanaman yang biasa
dibudi-dayakan dan dapat dijadikan bahan baku bioethanol. Berdasarkan
hasil panennya terlihat, bahwa beet dan kentang merupakan tanaman
pilihan terbaik untuk daerah beriklim sedang. Adapun tebu dan ubi kayu
tampaknya paling potensial untuk daerah tropis. Ubi kayu bersifat lebih
kokoh dan tidak memerlukan persyaratan kualitas tanah yang tinggi.
Adapun nira yang biasa dideras dari berbagai jenis palma (Arenga
pinnata, Borassus flabellifer, Cocos nucifera and Nypa fruticans)
kandungan total sugarnya berkisar 10-20%. Apabila dibudidayakan dengan
baik, akan sangat potensial dimanfaatkan untuk pembuatan ethanol, karena
produktifitasnya bisa mencapai 20 ton gula per hektar per tahun
(Dalibard, 1997). Pengolahannya untuk bahan baku bioethanol akan
diperoleh 8,8 ton atau setara 11.000 liter Fuel Grade Ethanol per hektar
per tahun.
2.5 Biosintesa Ethanol (Fermentasi)
Mikrobia yang biasa diharapkan aktif dalam perubahan glukosa menjadi
ethanol, adalah khamir dari spesies Saccharomyces cerevisiae. Pada
fermentasi sistem batch, metabolisme khamir diharapkan berlangsung pada
kondisi anaerob, karena adanya cukup oksigen (aerob) akan menjadikan S.
cerevisiae berkembang bagus tetapi ethanol sebagai salah satu produk
metabolismenya hanya terbentuk sedikit (Crueger, 1984). Secara umum,
kondisi anaerob glukosa akan terurai menjadi ethanol dan karbon dioksida
melalui proses glikolisis. Dalam keseluruhan reaksi tersebut,
dihasilkan energi untuk kebutuhan biosintesa, serta terbentuknya 2 mole
ethanol dan karbon dioksida dari tiap mole glukosa yang dikonsumsi (pers
1)
C6H12O6 ——–> 2 C2H5OH + 2 CO2 + Energi (1)
Berdasarkan perhitungan berat, dari 1,0 gr glukosa secara teoritis
akan dihasilkan ethanol 0,51 gr. Namun dalam kenyataan, ethanol yang
diperoleh hanya berkisar 90% terhadap hasil teoritis.
Sebagian glukosa
tersebut digunakan sebagai sumber karbon untuk pembentukan sel baru,
dengan perhitungan seperti pada persamaan 2 berikut ini (Maiorella dkk,
1981)
1 g (C6H12O6) —-> 0,46 g (C2H5OH) + 0,44 g (CO2) + 0,10 g (sel-sel baru) (2)
Pembentukan ethanol sistem batch, diawali dengan kondisi aerob
kemudian dilanjutkan dengan kondisi anaerob. Jika kondisi anaerob
dimulai terlalu dini maka sel yang ada tidak cukup banyak untuk
melakukan fermentasi secara bagus. Bahkan untuk mewujudkan kondisi aerob
perlu diadakan aerasi sebentar supaya nantinya tidak banyak kehilangan
hasil (Crueger, 1984).
Beberapa faktor penting yang mempengaruhi hasil ethanol dan
efisiensinya, yaitu (1) kondisi fisiologis inokulum mikroba yang
ditambahkan ke dalam media, (2) kondisi lingkungan selama proses
fermentasi berlangsung, dan (3) kualitas bahan media. Kondisi
fisiologis (seed) tergantung pada kondisi pertumbuhan optimal yang
spesifik bagi mikroba yang digunakan. Faktor lingkungan yang paling
penting, yaitu pH dan suhu. Sedangkan faktor lain (1) buffer capacity,
(2) tingkat kontaminasi di awal pertumbuhan, (3) kepekatan gula, (4)
konsentrasi alkohol, (5) pemilihan strain khamir, (6) kebutuhan nutrisi
bagi pertumbuhan khamir, dan (7) jumlah oksigen yang tersedia (Stark
dalam Alico, 1982).
Pengaturan suhu dalam fermentor perlu dilakukan, terutama dalam
selang waktu 48 jam di awal proses fermentasi. Suhu optimal untuk
pertumbuhan khamir berkisar 28,9°~32,2°C. Di atas suhu tersebut,
aktifitas khamir pada umumnya sudah terhambat dan cocok bagi pertumbuhan
bakteri kontaminan. Adanya panas yang terbentuk selama proses
fermentasi (125 Kcal/g ethanol) harus dipertimbangkan pula dalam upaya
pengaturan suhu proses (Alico, 1982).
Kontaminasi mikroba yang tak diinginkan dapat diusahakan sekecil
mungkin, dengan menambahkan inokulum khamir dalam jumlah besar. Hal ini
untuk meyakinkan, bahwa pertumbuhan khamir jauh lebih besar dari pada
kontaminan dan nutrient yang ada segera habis terkonsumsi. Jumlah cairan
inokulum berkisar 3–8% terhadap jumlah bubur media fermentasi, dengan
kerapatan sel 3×106 per ml (Alico, 1982; Crueger, 1984).
Penentuan konsentrasi gula dalam media, dipengaruhi oleh dua hal yang
mendasar, yaitu (1) konsentrasi gula yang terlalu tinggi akan
menghambat pertumbuhan sel khamir di awal proses fermentasi, dan (2)
konsentrasi ethanol tinggi akan mematikan khamir (Alico, 1982). Glukosa
yang melebihi 15%wv akan menghambat berbagai enzim yang dihasilkan sel
khamir. Toleransi berbagai khamir terhadap ethanol tergantung pada
strain yang dipilih, tetapi secara umum pertumbuhan sel terhenti
sepenuhnya dalam alkohol yang konsentrasinya lebih besar 13,6 %vv
(Maiorella, 1981).
Dalam media fermentasi, selain ada sumber gula untuk pembentukan
ethanol, juga harus tersedia nutrisi yang dapat menunjang pertumbuhan
sel. Kebutuhan utama untuk komponen dasar sel, yaitu unsur karbon,
oksigen, nitrogen dan hidrogen. Bahan lain yang diperlukan dalam jumlah
sedikit untuk komponen sel yaitu unsur pospor, sulfur, kalium dan
magnesium. Disamping itu perlu trace minerals dan growth factor berupa
asam amino, purine, pirimidin dan vitamin. Growth factor yang paling
penting untuk khamir, meliputi biotin, asam pantotenat, inositol,
thiamin, asam nikotinat, dan asam folat (Maiorella, 1981).
Namun dalam skala industri, unsur karbon, hidrogen dan oksigen
umumnya tersedia dalam sumber karbohidrat. Unsur nitrogen selain
terdapat dalam asam amino, disediakan pula dalam bentuk amoniak atau
berbagai garam amonium, terutama amonium sulfat. Berdasarkan alasan
ekonomis, urea juga sering digunakan, tetapi kurang cepat terasimilasi
kecuali jika disertai penambahan biotin. Unsur pospor biasanya
disediakan sebagai asam pospat atau amonium/kalium pospat. Sedangkan
komponen lain umumnya sudah terdapat dalam sumber karbon, meskipun
kadangkala perlu penambahan magnesium, Cl, sulfat, biotin dan thiamin
(Maiorella, 1981).
Stillage atau buangan proses distiliasi ethanol dari bubur yang telah
terfermentasi dapat ditambahkan bersama air pengencer bubur pati,
sekalian untuk sumber vitamin dan sebagai variasi sumber nitrogen
(Borglum, 1981).
2.6 DISTILASI
Proses akhir pembuatan ethanol adalah distilasi, dimana alkohol hasil
proses fermentasi yang berkonsentrasi 8%~12%v/v, dipisahkan dan
dipekatkan untuk dapat dipakai sebagai bahan bakar ataupun kebutuhan
lain. Distilasi adalah proses pemisahan dua atau lebih cairan dalam
larutan dengan berdasarkan relative volatility-nya dan perbedaan titik
didihnya. Distilasi fraksinasi merupakan pemisahan atau pengambilan uap
dari setiap tingkat yang berbeda dalam kolom distilasi. Produk yang
lebih berat diperoleh di bagian bawah, sedangkan yang lebih ringan akan
keluar dari bagian atas kolom. Hasil distilasi alkohol berkisar
95-96%vv, pada kondisi tersebut campuran membentuk azeotrope, dimana
campuran alkohol dan air sukar untuk dipisahkan. Agar diperoleh
konsentrasi yang lebih tinggi dari kadar tersebut haruslah ditempuh
dengan cara lain (Alico, 1982).
Residu atau sisa distilasi yang tertinggal dalam kolom bagian bawah
dan masih bercampur dengan air disebut stillage. Residu tersebut masih
banyak mengandung bahan-bahan organik yang tidak terfermentasikan. Jika
stillage tidak dimanfaatkan sebagai hasil samping, bahan tersebut
menjadi limbah yang harus ditangani lebih lanjut. Limbah tersebut
mempunyai beban BOD (Biological Oxygen Demand) tinggi sampai 40.000 ppm.
Beberapa metode seperti anaerobic digestion, activated sludge dan
metode lain dapat dilakukan untuk mengolahnya. Namun pengolahan dengan
berbagai cara tersebut perlu biaya tinggi (Alico, 1982).
Dalam proses produksi anhydrous alcohol, kondisi azeotrop harus
dipecahkan dengan bahan pelarut lain, biasanya benzene, atau n-hexane
kemudian alkohol dipisahkan lebih lanjut dari campurannya. Cara lain
yang umum dipakai adalah desiccants process, dan molecular sieves. Pada
proses desiccant, untuk mendapatkan anhydrous alcohol digunakan bahan
kimia yang sifatnya stabil yang bereaksi hanya dengan air, dan tidak
bereaksi dengan alkohol. Contohnya adalah kalsium oksida. Reaksi antara
CaO dengan air mengeluarkan panas, sehingga perlu rancangan khusus pada
kolomnya. Selain itu berbagai macam pati juga dapat dipakai sebagai
dessicant.
Molecular sieves adalah kristal aluminosilikat, merupakan bahan
penyaring yang tidak mengalami hidrasi maupun dehidrasi pada struktur
kristalnya. Molekul penyaring ini secara selektif menyerap air, karena
lubang kristalnya mempunyai ukuran lebih kecil dibanding ukuran molekul
alkohol, dan lebih besar dibandingkan molekul air. Alkohol yang
berbentuk cair maupun uap dilewatkan kolom yang berisi bahan penyaring,
air akan tertahan dalam bahan tersebut dan akan diperoleh alkohol murni.
Biasanya proses ini menggunakan dua kolom, kolom kedua untuk aliran uap
alkohol sedangkan pada kolom pertama setelah proses dialirkan udara
atau gas panas untuk menguapkan air (Winston dkk, 1981).
Pada industri pembuatan ethanol, juga akan diperoleh hasil lain, baik
yang dapat dimanfaatkan langsung maupun harus diproses lebih lanjut.
Hasil samping tersebut antara lain stillage, karbon dioksida, dan minyak
fusel. Stillage dari proses distilasi jumlahnya cukup besar, yaitu
10~13 kali jumlah alkohol yang dihasilkan. Mengingat bahan yang
terkandung di dalamnya, stillage dapat dimanfaatkan sebagai pupuk,
makanan ternak dan biogas. Sedangkan gas karbon dioksida yang dihasilkan
selama proses fermentasi biasanya diserap dan dimurnikan kemudian
ditekan menjadi bentuk cair. Minyak fusel yang pada prinsipnya merupakan
campuran n-amyl, n-butyl, iso-butyl, n-propyl dan iso-propyl alkohol
juga asam-asam, ester maupul aldehid, dapat digunakan sebagai bahan baku
kimia, bahan pelarut dan bahan bakar.
Alkohol yang digunakan sebagai bahan bakar, persyaratan mutunya lebih
sederhana bila dibandingkan dengan alkohol untuk keperluan lainnya. Hal
ini juga berpengaruh terhadap peralatan yang dibutuhkan, khususnya
peralatan pada unit distilasi dan jumlah biaya yang diperlukan.
Perbandingan kebutuhan energi pada proses distilasi dapat dilihat pada
tabel berikut ini :
III. PROSEDUR PROSES
3.1. BAHAN
Standar pemakaian bahan baku dan berbagai bahan lainnya untuk satu hari pengumpanan.
3.2 PROSEDUR PROSES
Bahan baku nira dari truck tangki (K–101) sebanyak 7500 liter
ditampung ke dalam tangki penampung (T–101), kemudian dipompa ke tangki
pemekat (E–101). Di dalam tangki pemekat diharapkan terjadi penguapan,
agar air yang terkandung dalam nira dapat berkurang, sehingga didapatkan
Total Sugar ± 13% w/v, kemudian didinginkan ke dalam tangki pendingin
(T–102).
Proses seeding, yaitu proses pembiakan khamir yang dilakukan dalam
Seeding Tank (D-101). Khamir Saccharomyces cereviseae (stock slant)
dipindahkan ke dalam slant baru dan dibiakkan selama 48 jam, kemudian
dipindahkan ke dalam active test tube dan disimpan selama 24 jam,
selanjutnya dipindahkan ke flask medium dan diinkubasikan selama 24 jam,
kemudian diinokulasikan ke dalam D-101. Waktu pembiakan ini sekitar 24 –
30 jam. Proses seeding harus diatur sehingga saat pengumpanan yang
pertama dimasukkan dalam fermentor, biakan khamir sudah siap untuk
melakukan proses fermentasi.
Fermentasi dilakukan dalam fermentor, yang jumlahnya tiga unit (D-102
A,B dan C). Nira yang telah dikentalkan (TS »15%wv) dicampur dengan
hasil biakan khamir. Kemudian dilakukan aerasi selama 4 jam yang
dimaksudkan untuk homogenisasi media serta untuk pertumbuhan khamir.
Pengumpan ke 2 dan ke 3 dilakukan dalam selang waktu 8 jam. Suhu
fermentasi dijaga ± 33 °C., hal ini ditempuh dengan cara mengalirkan air
pendingin. Fermentasi dianggap selesai bila kadar alkohol dalam
fermented broth sudah menunjukkan harga tetap.
Mash hasil fermentasi dengan volume ± 7500 liter, kadar alkohol
8–10%w/v, dipompa dengan P-103, untuk proses pemisahan atau pemurnian
dengan distilasi. Unit distilasi terdiri dari 2 buah kolom yang disebut
Mash Column (C-101) yang biasa disebut kolom pemisah dan Rectifying
Column (C-102) atau kolom pemekat.
Umpan dengan kecepatan 300 liter/jam dimasukkan di bagian atas C-101
yang sebelumnya dilewatkan Preheater (E-102) untuk pemanasan awal.
Sebagai media pemanas dipakai cairan panas dari bagian bawah C-101,
media pemanas ini selanjutnya dibuang ke ”Lagoon” sebagai limbah
buangan. Uap pemanas didapat dari boiler masuk C-101 melalui bagian
bawah. Uap dari bagian atas C-101 yang sebagian besar merupakan uap
alkohol dimasukkan ke C-102 bagian bawah. Pada C-102 terjadi pemekatan,
uap yang keluar dari C-102 bagian atas diembunkan dalam Condensor
(E-104).
Sebagian cairan embunan tersebut didehidrasi di E-105 untuk
selanjutnya ditampung dalam Storage Tank (T-105). Sebagian cairan
embunan yang lain dikembalikan ke bagian atas C-102 sebagai reflux, dan
juga cairan yang ada dibagian bawah C-102 dikembalikan lagi ke C-101.
Kadar alkohol yang dihasilkan adalah 99,5% v/v pada suhu15°C. Pada unit
distilasi juga dilengkapi peralatan penyadap minyak fusel. Minyak fusel
ini selain dianggap sebagai hasil samping, apabila sudah terambil dari
alkohol akan menyebabkan peningkatan mutu alkohol itu sendiri.
IV. SARANA PENUNJANG PRODUKSI BIOETHANOL
Sarana penunjang produksi bioethanol yang diperlukan untuk membantu
kelancaran ataupun terlaksananya operasi secara keseluruhan, meliputi
kebutuhan air, udara, listrik dan uap (steam).
4.1. Air
Kebutuhan air dibagi menjadi 2 bagian, yaitu (1) air proses, yang
akan habis dalam pemakaian, sebagai contoh air sebagai umpan boiler
untuk dijadikan uap (steam) dan air pencuci; (2) air penunjang proses,
air yang pada prinsipnya setelah dipakai dapat ditampung, kemudian
setelah diperbaiki kondisinya dapat digunakan kembali.
Ketersediaan air proses dapat dipenuhi dengan 2 buah deep well (sumur
dalam) yang masing-masing berkapasitas 120 liter/menit. Berikut ini
Tabel kebutuhan air.
4.2. Udara
Kebutuhan udara disediakan oleh sebuah kompresor berkapasitas 50
NL/menit, tekanan 4 Kg/Cm2 dan temperatur 35°C. Udara dipakai untuk
keperluan aerasi dan penggerak sistem alat kontrol, karena kebanyakan
alat kontrol yang terpasang memakai pneumatic controller system.
4.3. Listrik
Apabila lokasi Plant Ethanol belum terjangkau oleh jaringan
Perusahaan Listrik Negara (PLN), maka untuk kebutuhan listrik dipakai
Generator dengan bahan bakar minyak diesel (solar). Generator yang
diperlukan berjumlah 2 unit, masing-masing dengan kapasitas terpasang 25
KVA. Dalam keadaan pilot plant beroperasi, jumlah total
listrik yang diperlukan berkisar antara 870–900 KW/hari, dengan
kebutuhan bahan bakar solar ± 80 liter/hari.
4.4. Uap Air (Steam)
Uap Air (steam) diperlukan terutama pada proses sterilisasi media
pembiakan, proses distilasi dan secara berkala untuk pembersihan saluran
pipa. Kebutuhan uap ini dibangkitkan oleh sebuah boiler dengan
kapasitas terpasang 500 kg/jam, tekanan 7 Kg/Cm2, temperatur 150°C dan
menggunakan bahan bakar biomasa.
V. ANALISIS FINANSIAL
1. Biaya Investasi
Kebutuhan biaya pengadaan peralatan produksi yang utama untuk proses
pembuatan fuel grade ethanol (FGE) dari nira aren, kelapa maupun nipa
untuk skala 600 liter per hari adalah sebesar Rp.1.744.500.000.
Sedangkan kebutuhan biaya untuk kontruksi bangunan, peralatan dan sarana
penunjang mencapai Rp.1.700.000.000. Dengan demikian total budget
investasi untuk satu unit industri bioetanol dengan skala 600 liter per
hari adalah Rp.3.444.500.000.
2. Biaya Produksi dan Depresiasi
Perhitungan biaya produksi didasarkan pada kapasitas produksi per
tahun dengan asumsi 8 jam kerja/hari dan jumlah hari kerja efektif 312
hari dengan total produksi bioetanol 187.200 liter per tahun.
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan untuk komponen pembelian bahan
baku nira, khamir, bahan bakar, transportasi, tenaga kerja, perawatan,
listrik, distribusi, pajak dan penyusutan diperoleh total biaya
produksi sebesar Rp.1.239.093.667 per tahun.
3. Nilai Produksi, Kelayakan Usaha dan Strategi Pemasaran
Berdasarkan hasil analisis kelayakan usaha, diperoleh bahwa untuk
mencapai nilai IRR yang berada diatas bunga kredit bank, nilai NPV dan
Net B/C ratio yang berada diatas satu serta nilai Pb Period yang tidak
terlampau lama, maka harga jual bioetanol berada pada kisaran minimal
Rp.12.500 per liter. Dengan harga jual tersebut, maka investasi
dibidang produksi bioetanol yang berbahan baku nira aren, kelapa dan
lontar dengan skala 600 liter per hari dinyatakan sangat layak karena
nilai IRR-nya 22 %, nilai NPV 1.545.673.519, Net B/C ratio 1.48 dan Pb
Period 38 bulan. Harga jual bioetanol sebesar tersebut, dibandingkan
dengan harga jual bensin di tingkat SPBU yang hanya mencapai Rp.4.500
per liter (harga subsidi) maka dapat dikatakan bahwa harga bioetnol
tergolong sangat mahal.
Untuk itu, maka dalam rangka menghemat sumber
energi fosil, menghemat devisa negara dan mengurangi polusi lingkungan,
terutama lingkungan udara, maka pemakaian bioetanol saat ini belum dapat
dilakukan secara 100 % atau tanpa pencampuran dengan besin dari bahan
baku fosil. Disini pemanfaatan bioetanol sebagai energi alternatif
masih dibutuhkan strategi pemasaran, dan yang sangat dimungkinkan adalah
mencampurkan bietanol dengan besin pada perbandingan 1 atau 2 %
berbanding 98 atau 99 %. Jika diputuskan 1 % bioetanol dicampurkan
dengan 99 % bensin, maka harga jual bensin yang mengandung 1 % bioetanol
hanya sebesar Rp.4.650 per liter. Dengan strategi pemasaran seperti
tersebut, total pendapatan bersih yang diperoleh selama 10 tahun usaha
untuk satu perusahaan bioetanol yang berskala 600 liter per hari adalah
sebesar Rp.8.67 miliar.
DAFTAR PUSTAKA
Alico, D.H., ”Alcohol Fuels: Policies, Production and Potential”, West view Press (Boulder), Colorado, 1982, 1-19; 37-80.
Anonymous a, ”Basic Design Survey Report on Biomass Energy Research
and Development Center in The Republic of Indonesia”, Japan
International Cooperation Agency, GRB. CR (2) 81-05, 1981.
Anonymous b, ”Fuel Ethanol from Agricultural Crops – a Review”, NOVO Industri A/S, B 237-GB 1000, Denmark, June 1981.
Anonymous c, ”NOVO Enzymes in the Production of Ethanol from Starch
Containing Crops”, NOVO Industri A/S, cIB 238c-GB, June 1981.
Borglum G.B., ”Starch Hydrolysis for Ethanol Production”, D.L. Klass
dan G.H. Emert, Edit. ”Fuel from Biomass and Waste”. Ch. 15, Ann Arbor
Science, Michigan, 1981, p 297-310.
Crueger, W. dan A. Crueger, ”Biotechnology a Textbook of Industrial
Microbioloy”, Ch.7; 11, Science Tech, Inc., Madison 1984, 104-110;
161-186.
Hodge, H.M. dan F.M. Hildebrandt, ”Alcoholic Fermentation of
Molasses”, L.A. Underkofler dan R.J. Hickey, Edit. ”Industrial
Fermentation”, Vol. I, Chemical Publishing Co., New York, 1954.
Katzen, R., W.R. Ackley, G.D. Moon Jr., J.R. Messick, B.F. Brush dan
K.F. Kaupisch. ”Low Energy Distillation System”, D.L. Klass dan G.H.
Emert. ”Fuel from Biomas and Wastes”. Ch. 21. Ann Arbor Science,
Michigan, 1981, p 393-402.
Kosaric, N., Z. Duvnja, dan G.G. Stewart, ”Fuel Ethanol from Biomass:
Production, Economics and Energy”, Biotech. Bioeng.,__, 1981, p
119-151.
Maiorella, B., Ch. R. Wilke, dan H.W. Blanch, ”Alcohol Production and Recovery”, Biotech. Bioeng., __, 1981, p 44-88.
Scott, C.D., ”Ethanol Production in a Fluidized-Bed Bioreactor
Utilizing Flocculating Zymomonas mobilis with Biomass Recycle”, Biotech.
Bioeng. Symp. 13, 1983, p 287-298.
Wittcoff, H.A. dan B.G. Reuben, ”Industrial Organic Chemicals in
Perspective”, Part One, ”Raw Materials and Manufacture”, John Wiley
& Sons, New York, 1980, p 31-126.
Dalibard, Christophe , The Potential of Tapping Palm Trees for Animal Production.
Sumber : http://arenindonesia.wordpress.com/makalah-aren/l-ega-dan-bambang-triwiyono-dkk/