....Selamat untuk anakku Alifia Qurata Ayun wisuda Sarjana Farmasi.....

Kamis, 06 Agustus 2009

Spray Evaporator untuk pengolah Nira menjadi Gula Cair


Spray Evaporator untuk pengolah Nira menjadi Gula Cair

by : dian k


MERANCANG PERMINTAAN GULA KELAPA SEMUT ORGANIK (COCONUT BROWN SUGAR ORGANIC) DARI PT BENING BIG TREE FARM BALI






MERANCANG PERMINTAAN GULA KELAPA SEMUT ORGANIK (COCONUT BROWN SUGAR ORGANIC) DARI PT BENING BIG TREE FARM BALI  

Oleh : Dian Kusumanto

Pada akhir Juli 2009 yang lalu saya mendapat telpon dari Ibu Wahyu Sriningsih dari PT Bening Big Tree Farm (BBTF). Ibu Wahyu ini mengatakan bahwa perusahaannya bergerak di bidang sertifikasi produk organik dan sekaligus sebagai penampung dan pengekspor produk-produk organik ke Amerika Serikat. Produk-produk organik yang sudah ditangani ada beberapa macam antara lain adalah Gula Kelapa Serbuk (Coconut Brown Sugar). Beliau juga menyampaikan target permintaan dari pembelinya di Amerika Serikat untuk Coconut Brown Sugar sekarang ini sebenarnya sekitar 60 ton per bulan. Namun yang baru bisa dipenuhi adalah 12 ton, yang berasal dari petan binaannya yang ada di Jogja dan sekitarnya.

Kepada saya meminta informasi tentang sumber-sumber atau sentra-sentra produksi gula kelapa rakyat yang bisa diarahkan atau dibina menuju produksi gula kelapa serbuk organik sesuai permintaan pasar yang ada di Amerika Serikat. Saya belum bisa memberikan data pasti, kecuali beberapa gambaran yang belum detail tentang sumber atau sentra produksi gula kelapa ini. Kalau untuk merubah dari yang tradisional menuju gula kelapa organik standard ekspor, saya mengira hal in tidak terlampau sulit apalagi jika tawaran harganya juga cukup menggairahkan.

Saya kemudian terbayang kepada para perajin Gula Kelapa yang ada di Kabupaten Banyuwangi, Jember, Blitar, Banyumas, Cilacap, dll. yang selama ini masih belum terakses dengan pasar di luar negeri. Mutu produk mereka sejak jaman dulu kala masih seperti itu itu saja. Tidak ada perkembangan dan perubahan yang lebih baik, tidak ada merek, apalagi sertifikasi produk organik. Jaminan mutu atau kualitas produk belum ada, namun herannya konsumen juga masih terus menggunakan produk tradisional ini. Hal ini karena harganya terjangkau alias murah Akibatnya adalah nasib para perajin juga masih biasa-biasa saja, belum terangkat menjadi lebih baik.  


Dalam tulisan yang lalu pernah saya uraikan tentang rancangan yang barangkali bisa memperbaiki nasib mereka dengan suatu pola baru. Suatu pola baru itu memasukkan unsur teknologi tungku dalam penghematan bahan bakar dan tenaga kerja, perbaikan mutu produk gula dan menambah produk-produk samping bernilai tambah tinggi seperti arang dan asap cair. Selain itu pola baru yang saya rancang itu juga memperbaiki sistem kelembagaan atau organisasi usaha dengan berkelompok atau berkooperasi dengan pola hubungan antar pelaku yang lebih adil. Alhasil dengan pola baru nanti beberapa nilai tambah itu akan diperoleh bagi seluruh pelaku usaha gula kelapa rakyat ini, yang muaranya adalah perbaikan pendapatan dan kesejahteraan seluruh pelaku usaha secara adil.

Kemudian otak saya berputar, bahwa tawaran dan informasi ini kiranya adalah merupakan sambutan positif dari konsep yang pernah saya tulis dulu. Dan memang Ibu Wahyu ini tertarik setelah membaca tulisan saya itu yang diposting di http://kebun-kelapa.blogspot.com. Setelah beberapa hari mengendap barulah saya mencoba menghitug-hitungnya dan menulis artikel ini. Saya berharap artikel ini bisa menggugah para perajin yang ingin merubah mind set produknya dari yang tradisional menuju pasar ekspor, minimal dapat memenuhi pasar yang sudah dirintis oleh PT Bening Big Tree Farm ini.  

Angka 60 ton per bulan itu sudah sangat menantang. Jika dihitung per hari berarti 2 ton atau 2.000 kg per hari. Berapa banyak petani perajin untuk dapat memenuhi angka ini? Hitungan yang saya ambil dari tingkat lapangan di Desa Pondok Nongko Kecamatan Kabat Banyuwangi adalah sebagai berikut :

a). Setiap perajin biasanya mengelola antara 50 - 60 pohon kelapa, masing-masing memiliki unit pengolahan yang berupa tungku dan peralatan lainnya.
b). Produksi gula cetak berkisar antara 25 – 40 kg per hari per perajin dengan 1 unit tungku pengolah gula.
c). Setoran gula kepada pemilik kebun kelapa adalah 1 ons per pohon per hari kalau 50-60 pohon berarti sekitar 5 - 6 kg /hai per perajin.
d). Harga jual di tingkat pengepul Rp 5.000/kg
e). Kebutuhan kayu bakar 1 truk dengan harga Rp 375.000/ truk digunakan untuk 10-15 hari.
f). Tenaga kerja yang digunakan biasanya : 1 - 2 orang sebagai pemanjat dan 1 orang yang memasak dan mencetak gula (biasanya keluarga sendiri).
g). Masing-masing perajin sudah terikat kontrak pembelian dengan para pengepul Gula, bahkan para perajin sudah hutang alias bon uang atau barang kepada pengepul atau juragan gula.
h). Selain melakukan pemanjatan, sepanjang hari kerja mereka di rumah gubuk atau pondok kecil beratap daun atau genteng yang didirikan ditengah, dipinggir atau di dekat kebun kelapa yang disadap niranya. Pondok ini digunakan sebagai rumah tungku dan tempat beristirahat sekaligus untuk mengolah, mencetak dan menyimpan gula sebelum disetor ke pengepul.

Dari gambaran di atas dapat dihitung, bahwa untuk target 2.000 kg sehari atau 60 ton per bulan, dapat diperoleh dari antara 50 – 80 perajin. Kalau misalnya setiap 10 orang perajin dibentuk 1 (satu) kelompok, maka akan dibentuk antara 5 – 8 kelompok. Setiap kelompok nanti diharapkan akan dapat menghasilkan gula antara 250 – 400 kg per hari. Jadi kalau setiap kelompok itu alat pengolahannya disatukan, maka setiap kelompok memerlukan alat pengolah gula dengan kapasitas 250 – 400 kg Gula per hari, yang berasal dari nira kelapa sekitar 1.250 – 2.000 liter per hari, atau yang disadap dari pohon kelapa sebanyak antara 500 – 600 pohon.

Kenapa satu kelompok itu terdiri dari 10 orang, karena kalau terlalu banyak agak susah kita mengaturnya, terutama kalau pola menejemen diserahkan kepada salah satu diantara para perajin atau orang luar yang dipilih mereka. Kadang-kadang ini yang agak sulit, karena selama ini mereka saling bersaing. Akan lebih bagus bila menejemen korporasi ini dikelola langsung oleh pihak ketiga yang bisa dianggap adil oleh mereka. Sebaliknya kalau terlalu sedikit anggota kelmpoknya nanti kapasitas alat dan mesin pengolah telalu kecil, maka kurang efisien. Angka ini juga tidak patokan kaku, tapi bisa disesuaikan dengan pertimbangan-pertimbangan lainnya, terutama kapasitas alatnya.

Lalu apa yang menarik dari tawaran dari Ibu Wahyu ini. Tidak lain adalah bahwa produk Gula Kelapa kita akan menerobos pasar Amerika dengan jaminan setifikasi dari BBTF. Kemudian produk Gula kita akan mempunyai merek dan sekaligus patent sebagai syarat jaminan mutu. Jumlah 60 ton per bulan memang tidak terlalu besar bagi potensi produksi Gula rakyat yang ada di Indonesia. Tap bukankah untuk mencapai yang besar kita memulai dari yang kecil dulu. Tapi bagi sesuatu yang baru angka 60 ton ini cukup besar juga, karena akan melibatkan ratusan orang yang selama ini pola usahanya masih individual dan tidak pernah berorganisasi secara rapi. Ini merupakan pembelajaran sekaligus tantangan yang sebenarnya juga cukup rumit. 

Sekilas cerita melalui telpon dari Ibu Wahyu seolah menyiratkan sulitnya mengelola petani yang ada di Jogjakarta, yang sekarang baru mencapai produk 12 ton per bulan. Seolah-olah seperti sulitnya menjinakkan hewan yang biasanya liar dari hutan yang kemudian harus terkurung dalam sangkar sistem yang penuh aturan dan perjanjian-perjanjian. Biasanya memang ada saja yang bersikap kontra produktif dengan sistem baru yang sedang dibangun itu. Sebenarnya pihak BBTF akan lebih senang jika ada pihak yang dapat mengelola korporasi ini secara mandiri, namun tetap masih dalam aturan sistem yang disepakati bersama, sehingga pihak BBTF akan bisa mengembangkan pada pasar yang lebih luas dengan kuota yang lebih besar lagi.

Lalu berapa sih nilai harga Gula Kelapa Serbuk Organik yang diterima pihak BBTF? Harga yang kemarin dibuka adalah Rp 13.000 per kg. Jadi kalau kuota 60 ton per bulan bisa dipenuhi, artinya ada potensi devisa sebesar Rp 780 juta per bulan. Kalau korporasi dengan peran dan jasanya memungut Rp 1.500 per kg Gula dari para perajin, maka korporasi akan berpotensi mendapatkan pemasukan sekitar Rp 90 juta per bulan. Para perajin yang tegabung akan mendapatkan Rp 11.500 per kg Gula atau seluruhnya berjumlah Rp 690 juta per bulan. Kalau jumlah perajin yang terlibat sebanyak 50-80 orang, maka setiap orang berpotensi mendapatkan hasil penjualan Gula sebesar rata-rata antara Rp 8.625.000 sampai Rp 13 juta per bulan atau antara Rp 287.500 sampai Rp 433.333 per orang per hari.  

Atau kalau proporsi ini dikembangkan dengan beberapa alternatif dapat banyak pilihan pola proporsi harga sekaligus nilai pendapatan antar pelaku usaga Gula Kelapa Serbuk Organik ini. Beberapa alternatif itu adalah sebagai berikut :

No.---Harga BBTF---Jasa Korp. ---Laba (Rp/kg) --Laba (Rp /60 ton/bln) ----per petani
 ------(Rp/kg) -------(Rp/kg) -----Korporasi-------Korporasi--Petani---------(Rp/bln) .

1. -----13.000 --------12.000 -----1.000 ---------60 juta -----720 juta -------9.0 - 14,4 jt
2. -----13.000 --------11.500 -----1.500 ---------90 juta -----690 juta -------8,6 – 13,0 jt
3. -----13.000 --------11.000 -----2.000 ------- 120 juta -----660 juta -------8,2 - 13,2 jt
4. -----13.000 --------10.500 -----2.500 --------150 juta -----630 juta -------7,8 - 12,6 jt
5.----- 13.000 --------10.000 -----3.000 --------180 juta -----600 juta -------7,5 - 12,0 jt
6. -----13.000 ---------9.500 ------3.500 --------210 juta -----570 juta -------7,2 - 11,4 jt
7. -----13.000 ---------9.000 ------4.000 --------240 juta -----540 juta -------6,9 - 10,8 jt
8. -----13.000 ---------8.500 ------4.500 --------270 juta -----510 juta --------6.6 - 10.2 jt
9. -----13.000 ---------8.000 ------5.000 --------300 juta -----480 juta -------6.3 - 9.6 jt

Sebenarnya pada tingkat harga Rp 9.000 per kg saja petani perajin sudah dapat menikmati hasil yang lebih baik dari pada sekarang ini. Kalau dulu harga Gula Kelapa Cetak hanya senilai Rp 5.000 /kg saja. Memang dengan diolah menjadi Gula Semut dengan kadar air yang lebih sedikit maka ada pengurangan hasil gula sekitar 10 %, namun disisi lain ada peningkatan harga. Kalau dibandingkan antara Gula Semut dengan Gula Cetak maka ada kenaikan sebesar (Rp 9.000 x 90%) – Rp 5.000 = Rp 3.100 per kg Gula Cetak. Artinya kalau misalnya biasanya petani menghasilkan 30 kg Gula Cetak dengan perolehan kotor Rp 150.000, maka ada penambahan menjadi Rp 243.000 per hari atau Rp 7,290.000 per bulan.  

Belum lagi ada keuntungan-keuntungan lain karena sudah dikelola oleh korporasi seperti :
1. Tenaga pengolahan tidak ada lagi
2. Ongkos pembelian bahan bakar
3. Biaya operasional pemasaran produk
4. Pemeliharaan peralatan,
5. dll. 

Para perajin yang tergabung dalam korporasi bisa jadi mendapatkan penawaran-penawaran khusus yang dinikmati misalnya :
1. Asuransi keselamatan kerja
2. Asuransi kesehatan bagi keluarga
3. Jaminan hari tua
4. Asuransi perumahan
5. Bantuan pendidikan anak
6. Fasilitas kredit perumahan
7. Fasilitas kredit kendaraan,
8. Fasilitas liburan bersama
9. Jaminan sosial lainnya
10. Dll.

Bagaimana mengenai pengolahannya? Pengolahan nira sampai menjadi gula akan dikelola oleh Corporasi (selanjutnya kita sebut dengan koperasi). Koperasi akan membiayai pengadaan peralatan dan mesin yang diperlukan untuk pengolahan, pengemasan, pengangkutan, penampungan sampai pemasaran gula. Koperasi juga mengelola administrasi dan keuangan yang menyangkut usaha gula maupun kepentingan-kepentingan anggota koperasi. Jadi para petani perajin hanya bertugas sebagai penyadap dan pemelihara pohonnya supaya tetap menghasilkan nira yang bermutu bagus yang siap untuk diolah menjadi gula. Maka untuk pekerjaan inilah koperasi harus memungut jasa kelola usaha ini dengan lebih bermartabat.
Bagaimana dengan pemilik kebun atau pohon kelapa yang disadap? Pemilik pohon kelapa biasanya hanya menerima bagi hasil berupa gula atau uang senilai 1 ons gula untuk setiap pohon kelapa yang disadap. Jadi kalau ada 50 pohon yang disadap maka pemilik pohon berhak mendapatkan gula sebesar 5 kg atau uang senilai harga gula pada saat itu. Pemilik pohon bisa mendapatkan gula atau uang sesuai dengan perjanjian yang dibuat sebelumnya. Ini yang lazim digunakan.

Apakah dalam koperasi nanti polanya sama? Kalau masih dinilai bagus dan adil hal ini bisa saja diterapkan. Namun kalau dinilai kurang adil bisa juga diubah dengan metode yang lain. Pola yang pernah penulis temui adalah dengan sistem kontrak pohon selama periode waktu tertentu. Misalnya yang dilakukan Pak Subandi di Sebatik Nunukan, yang mengkontrak 200 pohon kelapa untuk disadap niranya dan dibuat gula. Untuk 100 (seratus) pohon dikontrak dengan harga Rp 8 juta per tahun. Jadi kalau 200 pohon Rp 16 juta setahun. Pada saat itu Pak Subandi bayar di depan atau diawal kontrak itu disepakati dan diperbaruhi setiap tahunnya.

Apa saja yang menjadi tanggung jawab korporasi ?
1. Membeli nira 
2. Mengatur pola kerja para anggota penyadap
3. Mengolah nira menjadi Gula
4. Menyiapkan Alat dan Mesin
5. Menyiapkan Gudang dan Pabrik
6. Menyiapkan Kantor
7. Menyiapkan bahan bakar
8. Memenej seluruh SDM yang terlibat
9. Mengelola administrasi dan keuangan Koperasi dan angotanya
10. Melakukan hubungan dengan pihak pembeli dan pihak lainnya.
11. Melakukan transaksi perdagangan dengan mitra usaha
12. Melayani kepentingan-kepentingan anggota yang berhubungan dengan usaha dan kepentingan lainnya sesuai kesepakatan.
13. Melakukan riset dan pengembangan usaha.
14. dll.


Beberapa pola kemitraan antara anggota, pengurus koperasi, dan pihak BBTF atau pihakketiga lainnya.

Apa saja nilai tambah dari usaha Coconut Brown Sugar ?
1. Mutu produk lebih bagus (Export Quality)
2. Harga produk lebih tinggi dari biasanya
3. Diversifikasi produk sesuai segmentasi pasar
4. Penghematan bahan bakar
5. Adanya produk samping berupa Arang
6. Adaya produk samping berupa Asap Cair (Liquid Smoke)
7. Penghematan tenaga kerja
8. Adanya jaminan bagi kesehatan, resiko kecelakaan dan jaminan sosial lainnya bagi para anggota.

Perhitungan nilai tambah :

1. Arang Kayu
Arang kayu yang diperoleh sebanding dengan jumlah kayu yang dibakar, cara pembakaran, nilai konversi dari kayu menjadi arang dan jenis kayu atau biomassa lannya.
Jika diasumsikan nlai konversi dari kayu menjadi arang ini mencapai 30 %, maka jika kayu untuk mengolah nira sebanyak 10.000 liter/hari ini 20 ton/hari, maka arang yang akan diperoleh adalah 6 ton/hari. Jika harga arang Rp 1.000/kg maka akan diperoleh nilai tambah dari Arang Kayu ini senilai Rp 6 juta/hari, atau Rp 180 juta/bulan atau Rp 2,16 M/tahun.

2. Asap Cair
Asap Cair yang akan diperoleh sebanding dengan jumlah kayu yang dibakar, cara pembakaran, nilai konversi dari kayu menjadi Asap Cair dan jenis kayu atau biomassa lannya.
Jika diasumsikan nlai konversi dari kayu menjadi Asap Cair ini mencapai 20 %, maka jika kayu untuk mengolah nira sebanyak 10.000 liter/hari ini 20 ton/hari, maka Asap Cair yang akan diperoleh adalah 4 ton/hari. Jika harga Asap Cair Rp 5.000/kg maka akan diperoleh nilai tambah dari Asap Cair ini senilai Rp 20 juta/hari, atau Rp 600 juta/bulan atau Rp 7,2 M/ tahun.

3. Penghematan kayu bakar
Banyaknya kayu bakar yang digunakan untuk mengolah nira tergantung dengan teknologi dan alat yang digunakan. Semain efisien teknologi dan aat yang digunakan maka akan semakin sedikit baha bakar kayu yang digunakan. Pola tradisional yang memasak menggunakan tungku yang sederhana bisa menggunakan kayu yang sangat banyak. Jika dihitung berdasarkan rasio antara nira yang dimasak sampai menjadi Gula Cetak dengan bahan bakar yang digunakan mungkin akan mencapai 1 liter nira : 4 kg kayu.
Jadi jika 10.000 liter nira yang dimasak maka kayu yang digunakan dengan cara tradisional akan mencapai 40 ton atau 40.000 kg atau sekitar 10 truk kayu.
Namun kalau menggunaka teknologi pengolahan dan tungku yang modern dengan tingkat efisiensi yang tinggi maka bahan bakar bisa dihemat, sebab rationira dan keperluan bahan bakar bisa diperkecil, misalnya menjadi 1 liter dibanding 2 kg bahan bakar kayu. Sehingga kalau yang diolah 10.000 liter nira/ hari, maka jumlah bahan bakar yang diperlukan adalah 20 ton (5 truk kayu) atau separuh dari sebelumnya.
Kalau 1 truk harga kayu Rp 375.000 maka jika ada penghemaan 5 truk per hari, maka yang dihemat senilai RP 1.875.000/ hari atau Rp 56,25 juta/ bulan atau Rp 675 juta per tahun.

4. Mutu produk meningkat harga juga meningkat
Tujuan dari berkoporasi antara lain adalah untuk meningkatkan mutu produk, yang biasanya berupa Gula Cetak dengan mutu biasa-biasa dan berstandar menjadi aneka produk gula yang berstandard ekspor. Yang dulunya tidak bemerek menjadi punya merek, punya patent dan bersertifikasi. Yang dulu kemasannya biasa-biasa saja menjadi produk yang menarik karena kemasannya bagus dan bervariasi. Mutu dan penampilan ditingkatkan untuk memperluas pasar secara vertikal karena menembus kalangan masyarakat konsumen ekonomi menengah dan tinggi, secara horisontal karena tersebar kepada konsumen di luar negeri.

Produk Palm Sugar sebenarnya memiliki nilai lebih dibandingkan dengan gula dari tebu, gula dari pohon maple, dll. Kelebihan yang melekat itu karena kandungan gizi Palm Sugar lebih lengkap. Kelebihan itu akan bertambah dengan citra organik yang terjaga dari proses budidaya pohonnya, penyadapannya sampai pada proses pengolahan dan pengemasannya.

Kelebihan-kelebihan di atas harus juga tercermin dari kemasan yang eksklusif, cantik, menarik yang mencitrakan produk yang memang mempunyai kelebihan dan keunggulan. Dengan demikian sangat wajar jika akan dihargai dengan lebih mahal dibandingkan yang biasa-biasa saja.


5. Diversifikasi produk
Produk juga akan mengalami pengembangan disesuaikan dengan pangsa pasar dan proses pengolahannya. Tentu karena sifat nira ini juga mudah mengalami perubahan kemis dan fisik karena adanya kandungan enzim yang masih aktif, maka dengan beragamnya keadaan petani anggota, dimungkinkan terjadinya mutu bahan nira yang beragam.  
Nira beragam kualitasnya karena beberapa hal, antara lain :  
- Masa sadap dan masa pemungutan,  
- kualitas kebersihan wadah nira, 
- jauh dan lamanya pengangkutan, 
- ada atau tidak adanya proses pematian atau penonaktifan enzimatis (dengan pemanasan),  
- kecepatan handling nira di pabrik, dll.
Maka nira digraging berdasarkan 2 hal, yaitu kadar gula dan pHnya, yaitu :
- Mutu A, dengan kadar gula 12 % dan pH diatas 6.5
- Mutu B, kadar gula 12 % dan pH antara 6 - 6,5
- Mutu C, kadar gula 12 % dan pH dibawah 5,5 – 6
- Mutu D, kadar gula 12 % dan pH dibawah 5,5

Setiap penurunan dan kenaikan kadar gula, maka nilai pembeliar nira juga menyesuaikan, karena pada dasarnya yan dibeli adalah kadar gulanya. Perlu juga dipahami bahwa dengan semakin besarnya kadar gula maka waktu mengolah juga semakin berkurang sehingga bahan bakar juga berkurang. Sebaliknya jika kadar gula semakin kurang artinya kadar air semakin tinggi, maka proses pemasakan menjadi lebih lama dan bahan bakar juga bertambah.

Demikian juga halnya dengan kadar pH. Jika pHnya rendah berarti telah terjadi proses fermentasi, artinya sebagian gula sudah diubah menjadi alkohol atau cuka, sehingga kadar gulanya berkurang. Selain itu kadar asam yang terbentuk dari proses fermentasi akan menyebabkan nira lama diolah menjadi gula, sehingga proses pemasakannya memerlukan bahan bakar lebih banyak dan mutu hasil gula menjadi menurun bahkan gula gagal dibentuk (kecuali gula cair).  

Nira yang terlalu asam akhirnya tidak bisa diolah menjadi gula dengan mutu yang standar, melainkan diolah menjadi gula cair, saguer (syrup asam), atau bahkan diolah menjadi bioethanol ataupun cuka. Produk-produk ini mengantisipasi beragamnya mutu nira yang nanti mungkin akan diterima dari petani. Tentu saja ini bukan produk utama yang dikehendaki, namun ini perlu diantisipasi agar jerih payah petani bisa tetap dihargai.  

Keadaan yang menyebabkan beragamya kualitas nira ini sangat banyak, baik teknis maupun nonteknis, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, seperti :
- Kebersihan wadah nira
- Perubahan cuaca
- Kebersihan pisau waktu penyayatan sadap
- Lamanya masa pengangkutan nira
- Tercampurnya nira dengan air hujan atau partikel lain di kebun
- Adanya hewan yang masuk dalam nira

Disamping diversifikasi produk terpaksa dilakukan karena mutu nira, bisa juga diversifikasi produk memang disengaja karena berkembangnya pasar dan tuntutan konsumen. Misalnya :
- Gula serbuk (Brown Sugar)
- Gula serbuk dengan aneka rasa dan flavour
- Gula Cetak berbagai ukuran
- Gula Cetak dengan aneka rasa dan flavour
- Gula Cair berbagai ukuran kemasan dan grade (mutu)
- Gula Cair dengan aneka rasa dan flavour
- Saguer berbagai rasa dan flavour
- Bioethanol dengan berbagai kandungan 
- Cuka dengan berbagai kandungan
- Dll.

(Bersambung)